Menyibak Tubuh


Mall  ibarat istana impian; memukau dan menggiurkan. Ketika kita berkunjung kesana, hampir segala yang di idam-idamkan telah tersedia. Anda tinggal membawa uang yang tebal, maka setiap komoditas impian dapat anda miliki. Bahkan, orang-orang yang hanya sekedar berkunjung, dapat terpacu untuk membeli. Sebab, daya pikat komoditas yang dipamerkan mengalir tanpa jedah. Ia tumpah ruah Baik pada Deretan etalase-etalase maupun pada pesona visual iklan-iklan.

Namun sepertinya, Mall bukan hanya ruang pameran komoditas. Ia juga memuat fungsi lain: pameran tubuh. Sebab, orang-orang tak hanya sekedar berkunjung dan membeli. Namun di sana, orang-orang turut menjadikan Mall sebagai ruang performa estetika tubuh beserta pernak-perniknya. Ibarat panggung peragawan/peragawati, segala bentuk tubuh yang solek tampil menebar pesona. Kiranya di Mall, fenomena pemanjaan tubuh nampak sangat jelas.


Meskipun tak hanya di Mall. Segenap ruang publik di Perkotaan sepertinya telah menjadi bidang tempat berkumpulnya tubuh yang dimanjakan. Di manapun kita berada selalu ada hamparan tubuh yang telah dirias. Ia, tampil solek dengan mode yang hampir serupa. oleh karena saat ini, tubuh dipermak pada suatu kesadaran kultural yang sama; budaya populer. Akhirnya, Tubuh dimodifikasi dengan tempelan mode yang sejak awal digemari banyak orang.
Sebenarnya kecenderungan demikian hadir bukan tanpa alasan.  Ia tumbuh berkembang seturut lahirnya kebutuhan untuk ngeceng. Dengan ini, tubuh zaman modern tak lain hanya berfungsi sekedar tontonan saja. semakin modis semakin menjadi obek tatapan. Bahkan tak sedikit kaum perempuan mesti menebar aroma berahi hanya untuk menjadi sentral perhatian. Sepertinya, ada sensasi kenikmatan yang turut tersemai ketika tubuh semakin menjadi pusat sorot mata.

Namun, tubuh yang modis bukan berarti adalah puncak kenikmatan. Sebab, betapapun eloknya tubuh, hasrat selalu tak pernah lengkap. Ia mungkin memadat, namun pada akhirnya menguap lagi. Itu karena kita hidup dihadapan tubuh-tubuh yang lain; tampak sebagai fisik, juga sebagai citra. Dan ia kemudian hadir bagaikan cermin di mana kita mengukur ketampanan/kecantikan, juga dandanan kita. Akhirnya dihadapan tubuh-tubuh yang lain hasrat selalu merasa berkekurangan. Bahwa, Tubuhku tak memiliki apa yang dimiliki tubuhnya. Penampilan tubuhku tak begitu sensasional dibanding penampilan tubuhnya.

Berangsur-angsur, kita akhirnya menjadi individu yang begitu konsumtif. Oleh karena hasrat selalu ingin mencapai kepenuhan.  Kita pergi di Mall atau tokoh serba ada membawa serta impian-impian hasrat. Berharap kita menemukan komoditas dengan kandungan mode yang sensasional, agar tubuh kita dapat tampil lebih memukau. Dan di sepanjang deretan etalase, kita menyeleksi setiap komoditi. Seakan-akan, ketampanan/kecantikan, bersemayam di sana. Hingga kita menghabiskan waktu melototinya satu per satu demi menemukan yang kita inginkan. Disini Marx menjadi benar tentang fetisisme komoditas. Ia seperti jimat, memiliki aura gaib yang menyemai daya pikat.

Namun dapatkah hasrat betul-betul mendapatkan pemenuhan yang utuh? Lacan sepertinya tak memandang seperti itu. Ia melihat hasrat sebagai ihwal yang selamanya berkekurangan; lack. Oleh karena manusia tak pernah menemukan dirinya yang sempurna. Semasif apapun kita meniru mode terbaru atau mengkonsumsi komoditi yang mahal, hasrat tak akan pernah lengkap. Namun kiranya, kekurangan hasrat pada akhirnya membawa kita pada perasaan tak pernah puas. Kita selalu terdorong untuk membeli dan terus membeli demi performa yang apik. Pada konteks ini tubuh menjadi perihal yang utama dan selalu menjadi yang utama.

Di sinilah hiruk pikuk modernitas ramai oleh hidup yang begitu hedonis. Kita menjelajahi zaman hanya mengejar kenikmatan badani demi terpuaskannya hasrat. Tubuh ditata oleh pernak pernik yang begitu mahal, oleh karena kesenangan materil adalah yang utama saat ini. Jauh hari, Epikuros telah memikirkan konsepsi hedonisme seperti ini. bahwa, ia memandang kenikmatan badani adalah hal yang utama dibanding yang lain. Namun Epikuros rentan terhadap kritik. Itu karena tubuh dimasa dan setelahnya, cenderung dilihat dalam optik yang inferior. Ia tak lebih sebagai kerangkeng yang membelenggu substansi; jiwa. Pemaknaan seperti itu nampak jelas pada kerangka filosofis dan religius.

Pada kerangka filosofis, tubuh diberangus oleh postulat nalar. Ia cenderung dimaknai sebagai perihal yang lebih rendah dibanding jiwa. Seperti dualisme platonian, Tubuh dipersepsi sebagai bayangan, ilusi, sifatnya sementara. Sedang jiwa dipersepsi sebagai perihal yang abadi yang darinyalah tubuh dapat mewujud. Disini plato melihat tubuh hanya sekedar sebagai duplikasi dari jiwa. Hingga akhirnya persepsi demikian berlanjut sampai di tangan Descartes. Di mana ia melihat keduanya juga sebagai relasi yang hirarkis. Res cogitans dan res ekstensa, diasumsikan descartes sebagai dualisme jiwa-tubuh yang ketat. res cogitans (yang berpikir; jiwa) selalu sebagai subjek. Dan res ekstensa (yang dipikirkan; tubuh, materi, ekstensi) selalu sebagai objek.

Demikianlah, dalam tradisi filsafat, cenderung melihat jiwa lebih utama ketimbang tubuh. Hal demikian dapat juga ditelusuri pada kerangka religius. Dalam bhudisme, tubuh dilihat sebagai perihal yang mesti dikendalikan oleh jiwa melalui laku tapa. Tradisi seperti itu juga bisa dilacak pada praktek spritual sufisme. Pun, dalam islam, tubuh tak lebih sebagai manifestasi nafsu yang mesti dikontrol melalui jalan ibadah; shalat, puasa dll.

Namun, zaman kekinian sepertinya menjadi akhir superioritas jiwa. Oleh karena tubuh mengambil alih kekuasaannya. Saat ini tubuh ditempatkan pada muatan perhatian yang lebih besar ketimbang jiwa. Hal ini ditandai dengan lebih besarnya keinginan untuk mempermak tubuh semakin estetik dibanding kebutuhan meningkatkan kualitas jiwa; bernalar, spritualitas, moralitas. Akhirnya tubuh dipermak dan dibentuk-bentuk tanpa mempedulikan sisi etis dan religius. Dan orang-orang rela menghamburkan uang demi keindahan tubuh dibanding membeli buku untuk peningkatan intelekutalitas.

Namun, ada yang paradoks tentang pengutamaaan tubuh di zaman modern. ketika ia dimanjakan, ia juga menjadi sentral represi. Pada posisi ini, tubuh menjadi perihal yang terkekang. Laku diet, sedot lemak, seni tatto dilakukan demi keindahan tubuh. namun perlakuan tersebut sebenarnya adalah laku yang begitu represif. Meskipun pada awalnya orang-orang melakukan atas dasar semangat tampil menawan.

Tak hanya itu, tubuh juga kerap menjadi objek pendisiplinan yang sangat politis. hal demikian kerap terjadi disekolah. Saat dimana anak didik menjadi liar, tak jarang tubuhnya menjadi objek kekerasan atas dasar asumsi penertiban. Fenomena demikian, juga bisa kita lacak pada epos zaman modern. itu ketika kapitalisme mengawali kejayaannya. Padanya, tubuh proletariat diatur, kadang represif, demi stabilitas produksi. Pun, hadirnya rezim totaliter di zaman modern, adalah bukti bahwa tubuh menjadi objek pendisiplinan. Ia dikuasai, dikontrol, mengalami kekerasan. Rezim nazisme kiranya sudah cukup membuktikan hal itu. dimana, kekuasaannya ditancapkan dengan mengorbankan banyak nyawa. Merepresi tubuh agar patuh pada status quo.

Pada konteks demikian, Foucault bisa jadi benar. Bahwa tubuh selalu mengalami pendisiplinan oleh mekanisme kekuasaan. Hal demikian memungkinkan manusia dibuat patuh oleh hukum-hukum kekuasaan. Maka, dalam optiknya kekuasaan tertancap kokoh melalui kontrol tubuh. Atau foucault melihatnya sebagai Bio-politic (politik tubuh) [].
--- Muhajir ---

Komentar

Populer Sepekan