Simulasi dan lenyapnya Kesejatian

Zaman ke-kinian adalah sebuah peralihan masa yang bisa saja sama sekali tak pernah terbayangkan kehadirannya. Sebab, dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat apa yang terasa musykil meretak oleh berbagai keajaiban-keajaiban. Saat ini, tak ada lagi manusia yang menempuh jarak yang terlampau lama untuk sekedar mengetahui sebuah peristiwa, kondisi georgafis, di pelbagai belahan dunia. Sebab, saat manusia memasuki era komputerisasi, media massa dan sibernetik, saat itu pula jarak tak lagi menjadi masalah. Kemajuan teknologi menandai era dimana informasi-informasi  begitu mudah diakses. Pun, menyebar pesan dapat dilakukan dengan cepat.

Namun, seturut perkembangan tersebut,  ada gejala yang sifatnya paradoks yang kian terbangun dalam dunia kehidupan kita. Pesatnya laju kemajuan teknologi, membawa gelanggang kenyataan turut bergerak pada ambiguitas. Hingga batas-batas antara yang nyata dan yang ilusi telah menjadi lenyap. Situasi demikian bermula  ketika televisi hadir di tengah-tengah hidup manusia. Padanya, realitas mampu dihadirkan tanpa peduli pada kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, fakta maupun citra. Semuanya hadir saling silang sengkarut. Di sinilah realitas menjadi perihal yang dapat di perkecil. Hingga masa lalu dan masa depan dapat menjadi satu pada kekinian. Sebab, demarkasi ruang dan waktu menyembul melampaui batas-batas.

Bahkan dalam teknologi internet, ruang sosial dapat dirancang dengan campuran model-model citra. Jadinya, interaksi sosial terasa begitu elastis. Sebab, hakikat beserta kepadatannya direduksi melalui mekanisme digital dan deretan bit-bit. Pada giliranya, transparansi sosial kian memuncak. Sebab, segenap kategori sosial, batas sosial, dan hirarki sosial kian melenyap. Bahkan, manipulasi identitas bukanlah sesuatu yang mustahil logika internet. Anda dapat menggonta-ganti jenis kelamin maupun identitas diri secara arbitrer, hingga tak ada satu pun yang tahu bahwa anda adalah seekor binatang.

Oleh kemajuan teknologi, realitas telah sampai pada kondisi yang tak normal. Sebab, begitu mudahnya ia di(re)produksi sampai pada bentuknya yang begitu semrawut. Ketika Baudrillard mengatakan “All that is real becomes simulation” , ia menjadi pemikir yang begitu paham akan kondisi kekinian. Bahwa saat ini, realitas yang selalu kita alami  ibarat simulasi. Ia semacam tiruan, tak lebih dari buatan. Pun, ia tak pernah betul mencapai kondisi yang identik. Sebab begitu acaknya yang nyata dan ilusi, realitas simulasi tak pernah sejati. Begitulah kiranya bila realitas hanya sekedar buatan. Ia tak pernah menjadi representasi utuh dari referensinya. Namun, sepertinya simulasi tak punya urusan dengan kesejatian. Ketika yang sejati kita anggapkan sebagai keaslian, maka kita tak akan menemukan darinya. Bahkan realitas mampu dihadirkannya tanpa referensi, tanpa asal usul, pun tanpa memiliki acuan yang jelas. Dengan ini, simulasi tak hanya menduplikasi realitas, ia bahkan turut menghasilkan realitas baru dengan citra-citra buatan. Ia mampu menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan. baudrillard dalam setiap kesempatan kerap menyebut realitas semacam itu dengan sebutan simulacra.

Sampai saat ini mekanisme simulasi terus me(re)produksi realitas pada bentuknya yang destruktif. Ia pastinya mengalir semakin massif seturut besarnya ketergantungan kita pada teknologi mutakhir. Namun, simulasi pada gilirangnya bukanlah sesuatu yang mengundang tanya; apakah itu benar? Apakah itu asli?. Toh pada akhirnya kerumunan fantasi kian mengaburkan kebenaran. Oleh sebab itulah ia dihadapan kita bukanlah perihal yang mengundang refleksifitas mendalam. Ia tak lebih sebagai perihal yang menggelitik hasrat. Film, iklan, reallity show, jejaring sosial dunia maya, atau bentuk simulasi lainnya, sekadar menjadi  tontonan yang menghibur. Zaman yang kita jalani memang seperti parodi. Di mana, kita hidup pada lingkungan visual yang mempertontonkan tiruan yang lucu dan memukau.

Lantas, bagaimana kita mesti menyikapi situasi demikian? Oleh karena realitas simulasi tampil sebagai tontonan yang menghibur, kita ditarik untuk tetap setia menikmatinya. Sebab, ia dirancang tak hanya sebagai realitas visual. Tapi pada tampilannya,  ada pesona yang menyemai daya pikat dan begitu ideologis: tentang gaya hidup, prestise, fhasion dan imaji-imaji personal lainnya. Akhirnya perhatian kita selalu hanya untuk simulasi. Ia kemudian menjadi sentral hidup dan mendikte hasrat kita  menjadi seperti ini dan itu, memiliki ini dan itu. Hasrat kemudian dipacu keluar. Menindih rasio hingga tak punya kuasa untuk memilah dan menimbang-nimbang. Dan Kita akhirnya menjadi mahluk yang sekedar menonton, menikmati kemudian berkhayal.

Mungkin tepat bila simulasi disandingkan oleh paranoid-fasis Deleuzian. Sebab saat ini, ia menjadi titik pusat berlabunya hasrat. Ruang di mana orang-orang menjadi pemimpi. Pun, ia berkedaulatan untuk selalu mengontrol sampai hal-hal yang begitu privat. Mulai dari pakaian apa yang mesti dikenakan, kosmetik jenis apa yang mesti dikonsumsi, sampai perilaku seperti apa yang mesti dimiliki.

Maka pada akhirnya, simulasi menjadi perihal yang turut menentukan totalitas kehidupan masyarakat. Segenap fashion, gaya hidup bahkan perilaku masyarakat turut dibentuk olehnya. Pada posisi inilah hidup begitu tragis, ketika identitas pada akhirnya hanyalah konstruksi. Jadinya, identitas yang terbangun tak lebih sebagai duplikasi. Ia tak benar-benar sejati, seperti perihal yang membentuknya; simulasi.

Namun, malangnya, nyaris diantara kita terlampau suluk padanya.  Hingga kita begitu dungu untuk mengaggapnya lebih riil dibanding kenyataan yang sesungguhnya. Sebab, tak jarang jeleknya wajah kita selalu ingin dirubah oleh konsumsi kosmetik semahal apapun. Oleh karena kita lebih percaya pada ilusi yang ditampilkan iklan-iklan dari pada menerima kenyataan apa adanya. Begitulah kiranya realitas simulasi, ia hadir untuk melampaui kenyataan sesungguhnya. Oleh baudrillad, ia dijuluki sebagai hiperrealitas: ia tampak lebih nyata dibanding kenyataan itu sendiri. Bisa saja orang-orang akan menyebut tulisan  ini semacam ungkapan anti kemajuan. Namun, dapatkah kondisi saat ini disebut kemajuan di saat yang ilusi sebagai eksesnya justru mengevakuasi substansi kenyataan dan kemanusiaan pada pusatnya? []

Komentar

Populer Sepekan