Berpikir dan Perihal Kebenaran; Hiruk pikuk Sepanjang Titimangsa[1]
Berpikir adalah pekerjaan yang sunyi (Heidegger)[2].
Sebab berpikir adalah peristiwa epistemik yang mengharuskan sebuah permenungan
mendalam akan sesuatu. ia mensyaratkan sebuah keterasingan dari tendensi
penilaian umum, yang dianggap mutlak dan ideal final, untuk kemudian menetapkan
suatu kepastian universal. Sebab apa yang disebut sebagai sebuah kepastian adalah
suatu nilai yang harus ditegaskan
kebenarannya oleh alur berpikir yang mendalam, pada analisa yang ketat seturut
prinsip-prinsip logis.
Sebab berpikir adalah jalan mencapai
kebenaran, maka, tak ada satu pun yang dapat diteguhkan sebagai sebuah
kepastian bila ia tak menghendaki. Inilah yang barangkali menjadikan laku
berpikir selalu mengalami pasang surut
di setiap periode sejarah. Ia selalu ingin dipatahkan, juga ingin dibungkam,
Sebab ia selalu menjadi ancaman bagi keteguhan dogma. Dogma dan penalaran
selalu adalah dua sisi yang saling bertentangan. Bila dogma adalah mainstream
yang selalu menghindari gugatan, maka laku berpikir selalu adalah usaha yang ingin menggugat mainstream.
Pertentangan antara dogma dan laku
berpikir dapat ditelusuri di setiap era. Di yunani masa silam, bisa kita lihat
bagaimana dogma-dogma mitologi menjadi palu godam yang selalu menghantam laku
berpikir hingga terjungkal dari pusat nalar. Hingga pada gilirannya berpikir tak
lagi mengisyaratkan kedalaman refleksi dan nalar pun hanyalah substansi yang
sekedar terpaksa menerima mainstream (baca: dogma). Sebab seperti apa yang kita
pahami, dogma adalah perihal yang tak untuk digugat, namun cukup diyakini. Situasi
demikian berlangsung cukup lama hingga kemudian para filsuf muncul menyemai
napak tilas superioritas berpikir dalam manuskrip sejarah. Apa yang dianggap
sebagai mitos diruntuhkan oleh investigasi penalaran, oleh kebijaksanaan
berpikir yang pada akhirnya khas disebut sebagai filsafat.
Masa itu nalar berikut kemampuan
berpikirnya menjadi sebuah tradisi menilai realitas. Dengan laku berpikir, Para
filsuf kian berlomba-lomba untuk menemukan titik kepastian akan subtratum
metafisis semesta yang dapat diterima secara rasional bukan dengan dogma-dogma
mitologis yang penuh tahayul. Diawali oleh Thales yang mengasumsikan bahwa arche semesta adalah air bukan
intervensi sang adikuasa; dewa-dewa. Dogma kian runtuh saat Anaximenes
menyatakan bahwa pelangi bukanlah tempat turunnya dewi-dewi ke bumi, namun tak
lebih dari bias cahaya yang memantul pada air. Yah, Spekulasi analitik dilancarkan, berbagai macam
asumsi menyembul membakar tapal batas kedunguan manusia yunani saat itu. hingga
Aristoteles merakit kaidah-kaidah berpikir yang kemudian hari khas disebut
Logika agar kelak berpikir dapat ditata dengan rapi.
Namun bukanlah sejarah namanya bila tak
gaduh oleh hiruk pikuk dinamika. Napak tilas berpikir tak selalu adalah
perjalanan yang lurus tanpa hambatan. Hal demikian terjadi saat
kepercayaan-kepercayaan teologis turun mendunia. Yang pada giliranya khas
disebut agama ini menjadi sebentuk pijakan hidup manusia dalam menimbang dan
menilai kenyataan. Tak ada masalah dalam hal ini. nabi-nabi pembawa risalah
ketuhanan menebar keyakinan keagamaan tanpa menampik berpikir sebagai hakikat
manusia. seseorang dapat bebas memeriksa kepastian agama dengan gugatan apapun
selagi memiliki argumentasi yang logis. Bahkan agama pada dasarnya adalah
sintesa kreatif antara postulat transendental dengan penalaran. hingga kemudian
manusia mengutak atik agama dengan interpretasi destruktif. Dan agama kian
kehilangan substansi saat ia dibuat berbaur oleh kepentingan, ekstrimisme dan
kedangkalan berpikir oleh pemeluknya masing-masing. Saat-saat inilah agama menjelaskan
kenyataan dengan kepercayaan buta, tanpa penalaran mendalam, tanpa investigasi
filosofis. Hingga pada gilirannya bermetamorfosa menjadi dogma.
Kita bisa lihat bagaimana agama yang
telah menyemai dogma hendak menguasai panggung sejarah. Di Eropa masa silam,
dogma kristiani menjadi pijakan diferensiasi atas apa yang pasti tak teragukan
dan apa yang mesti ditolak. Tak ada satu pun sistem penilaian yang lain kecuali
kedangkalan sabda-sabda para gerejawan, terlebih laku berpikir, ia adalah usaha
yang bisa saja mengancam eksistensi keyakinan maka ia pun pada pada akhirnya
dikurung dalam label kafir. Namun bukankah kepastian tak boleh dinilai dengan
argumentasi yang penuh racau dan omong kosong? Itulah sebabnya galileo
interupsi atas segala doktrin teologis kristiani. dengan laku berpikir disertai
investigasi empirikal, galileo memecah perlawanan atas dogma. Saat ia
memperkuat kebenaran bahwa matahari menjadi pusat tata surya, meruntuhkan
keyakinan kristiani bahwa bumi adalah pusat tata surya.
Apa yang dicapai oleh galileo kian
membuka tabir pencerahan. Nalar kembali bangkit, merengkuh cakrawala, manusia
lambat laun kembali menyadari bahwa berpikir adalah perilaku epistemik yang
harus dibiasakan. Hal ini dirayakan saat Descartes mengumandankan adagiumnya
yang terkenal; cogito ergo sum (aku
berpikir maka aku ada). Disini laku berpikir di asumsikan sebagai simbolitas
eksistensial manusia, mengembalikan defenisi Aristoteles bahwa manusia adalah
binatang yang berpikir. Dengan ini Descartes memberi penegasan bahwa res cogitans (aku berpikir) adalah
fondasi mengenal res extensa
(ektensi, ihwal yang dipikirkan). Dan Descartes pada gilirannya menetapkan
kepastian dan kejelasa sebagai yang hanya
mungkin ditemukan dalam jelajah nalar.
Dengan keterlepasan manusia oleh
kungkungan dogma-dogma kristiani yang dianggap irasional, realitas kemudian menjadi semacam ekstensi
yang mesti diperiksa dengan hati-hati demi sebuah kebenaran yang pasti.
Kehati-hatian terus dijaga, bahkan sampai spekulasi metafisis yang berkembang dalam fenomena filsafati kian
diperiksa validitasnya. Maka Nalar pun kian ketat saat sistem berpikir
dirancang dengan pola yang terstruktur, rapi dan berdasarkan pada kenyataan
empirik. Sebab dogma yang berkembang dipahami sebagai kekeliruan sejati dan investigasi
filosofis sebagai sistem berpikir yang berkembang masih terjebak dalam
penilaian spekulatif. Walaupun investigasi filosofis telah meneguhkan nalar dan
melabrak dogma, namun analisa filosofis masih menerima metafisika sebagai keberadaan
yang abstrak, melampaui realitas material.
Kehati-hatian dalam menerima diskursus
yang spekulatif sebenarnya telah lebih dulu di awali oleh Francis Bacon yang
menetapkan prinsip verifikasi sabagai dasar pengenalan dan penemuan kebenaran
yang pasti. Asumsi demikian mendapatkan pendasarannya yang kokoh saat August
Comte menemukan sistem berpikir empirik yang radikal yang kemudian khas disebut
sebagai positivisme. Maka dari sini, apa yang diasumsikan dengan berpikir
adalah pola terstrukur yang berpijak pada investigasi metodologis, yang
empirik, sesuai dengan kaidah ilmiah. Perihal inilah yang kemudian khas disebut
sebagai sains.
Dalam sains, Tak ada lagi tempat dogma
dapat disemai, tak ada lagi doxa yang
menyisir dalam relung nalar, dan tak ada lagi metafisika yang dicandra oleh
investigasi filosofis, kini tiba saatnya membiasakan diri berpikir mendalam dengan
pola penelusuran empirikal, pada ketaatan atas asas-asas metodologis. Disinilah
ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu sosial mendapatkan pendasarannya sebagai hal-ihwal
diskursus yang hanya dapat diterima sebagai kebenarannya. sebab hanya ilmu
demikianlah yang dapat ditelusuri melalui prinsip verifikasi dan observasi.[]
---Muhajir---
Komentar
Posting Komentar