Yang Koruptor, Yang Hipokrit



Baru-baru ini Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar diduga mencuci uang dari hasil yang diduga korupsi terkait dengan penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Peristiwa tersebut pastinya semakin membenarkan Indonesia sebagai salah satu negara ter-korup di dunia.  dan ironis serta paradoks, sang tertuduh justru adalah juru adil negara, setiap pemberian sanksi dan hukuman adalah urusannya.

Sepertinya korupsi telah menjadi semacam tindakan populer di kalangan pejabat negara. Entah sudah berapa banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan mereka, dan semuanya terjadi tanpa ada perilaku mawas diri apa lagi untuk memotong kebiasaan buruk tersebut. Dan Indonesiapun kian terpuruk. Utang yang begitu banyak, masyarakat kelas bawah kian merana, sementara para pejabat negara mensejahterakan diri melalui korupsi.

 Maka....
Dapatkah saat ini kita bisa memaklumi para pejabat negara untuk semua fakta bahwa sebagian besar pelaku korupsi adalah mereka? saat ini kita mesti sigap dan lekas menduga bahwa kita sebenarnya telah lama hidup dalam selubung kepura-puraan mereka. Para pejabat negara yang seharusnya bertugas menata Indonesia dengan sebaik-baiknya sebagai mana janji ideal mereka, ternyata hanya tahunya bertindak memperkaya diri. sedang masyarakat dibiarkan menikmati hidup dalam situasi sosial yang retak.  Yang kita saksikan dari mereka bahwa ada kewibawaan dan ihwal terpelajar dari segenap tampilan fisik dan retorika. Namun kita mesti curiga bahwa dibalik itu, ada kerakusan yang berusaha disembunyikan. Karena bila tak diselubungi oleh ke pura-puraan, maka kita sudah Jauh hari tak mempercayainya.

Kepura-puraan memang telah lama menjadi tradisi oleh pejabat-pejabat kita. Ketika tertangkap basah korupsi, berpura-pura selalu dijadikan benteng. Ada banyak cara diantaranya membuat alibi, merekayasa fakta  atau bergaya tenang dan rileks seakan-akan tak terjadi apa-apa. Untuk menjadi pejabat negara pun para calon pejabat sering menggunakan strategi berpura-pura demi meraih simpati masyarakat. biasanya mengubah penampilannya bak seorang yang bermoral (biasanya simbol-simbol religius menjadi yang utama) atau kadang pula dengan mengumbar janji-janji yang pada kenyataannya selalu tak terealisasi sepenuhnya. Bukankah hal-ihwal tersebut sebuah kepura-puraan?

Begitulah kiranya bila kecemasan telah menyembul, maka berpura-pura adalah ihwal yang mesti dilakukan demi tetap menampakkan pribadi yang seolah-olah tak bersalah dan seolah-olah tak terjadi apa-apa. Sebab menurut Freud, dalam kecemasan ada perasaan terjepit dan terancam. seperti para pejabat korup yang selalu cemas karena terancam kasusnya terkuak, seperti para calon pejabat pemerintah yang selalu cemas karena terancam tak dipilih oleh masyarakat untuk menduduki kursi kekuasaan. dan tatkala kecemasan telah hadir, maka  terjadilah  apa yang disebut Freud sebagai mekanisme pertahanan ego. Lewat mekanisme pertahanan ego kecemasan dikurangi, rasa terjepit dan terancam disembunyikan dengan cara mendistorsi kenyataan. Seperti itulah kiranya yang terjadi, kecemasan yang menghantui setiap jiwa para pejabat korup memaksa ia untuk menciptakan mekansime pertahanan ego dengan berpura-pura sebagai strategi mendistorsi kenyataan.

Sederhana saja untuk menilai subjektivitas para pejabat korup, bahwa ada yang bermasalah dari struktur kepribadian mereka. dan psikoanalisa pun separuh benar. Bahwa hasrat kian hari kian menguasai subjektivitas manusia. sebagaimana para pejabat korup yang telah memberhalakan hasratnya, dipuaskan melalui tindakan korupsi. Sebab uang adalah benda yang efektif dalam memuaskan hasrat. Namun bukankah hal tersebut terlalu individualistik? Dan bisakah perilaku individualistik para pejabat korup dibenarkan disaat masyarakat kita menuntut kesejahteraan?

 Entah sampai kapan korupsi dapat diatasi. Tak ada yang bisa memastikan. Sebab kekuatan hukum di Negara kita terlampau lembek. Bahkan institusi negara kadangkala memberi perlindungan kepada para koruptor. Sebab disitu ada agenda kepentingan yang bermain yakni melindungi karena pelaku adalah kawan, atau melindungi karena pelaku berani membayar setinggi-tingginya. Bukankah tindakan Akil Mochtar telah menjadi penegas rapuhnya hukum Negara kita?[]

---Muhajir---



Komentar

Populer Sepekan