Tragedi Sampang 2 (“Represifikasi” Keimanan)

laa ikraaha fid-diin
( Tiada pakasaan dalam agama)
al-Baqoroh: 256


Fenomena pemaksaan Iman Di Sampang
Manusia biasa; kita sebut saja yang berkekurangan, yang tak luput dari dosa dan salah, apakah pantas melabeli secara tetap dan absolut keimanan seseorang sebagai yang sesat? Apalagi bila hendak bertindak memaksakan keimanan-nya pada seseorang (karena menganggap keimanan-nyalah yang benar), adakah ia punya kuasa?

Sampang kiranya tak begitu peduli dengan pertanyaan purba tersebut. Sudah bertahun-tahun intimidasi dan diskriminasi mazhab terus bergolak di sana akibat doktrin maha dahsyat dari seekor mahluk sialan bernama “sesat”. hingga sampai saat ini pergulatan mazhab sudah sampai pada fase paksa-memaksakan iman secara represif. Karena penganut syiah masih tetap bertahan atas nama iman, maka para fundamentalis (dan tentunya aparatus negara turut berperan) --- karena sudah merasa amat geram --- memberi 2 pilihan pada mereka: segera bertobat, kembali kejalan yang lurus dengan menandatangani 9 ikrar yang telah disediakan atau keselamatan fisik dan nyawa menjadi sasaran represif.

Peristiwa tersebut telah menambah catatan hitam sampang sebagai daerah yang sama sekali tidak berjiwa indonesia; tak bhineka-tunggal-ika. Dengan seruan tobat pada warga syiah,  sampang  sepertinya alergi akut dengan perbedaan. Para fundamentalis yang bermukim disana, juga pemerintah (diwakili oleh bupati dan kepala dusun) serta aparat kepolisian menjalin kerja sama untuk menyudahi kesesatan (begitu yang mereka bahasakan) warga syiah. Seolah-olah sesat dan suci, benar dan salah ditentukan oleh mereka; peran Tuhan telah diambil alih.

Dengan keikut sertaan pemerintah dan aparat kepolisian semakin membenarkan teori cerdas Althusser. Bahwa penanaman ideologi secara paksa bekerja melalui aparatus negara, dimana ada dua anasir yang bekerja aktif. Ialah apa yang Althusser sebut sebagai ideological state apparatus (ISA) dan repressive state apparatus (RSA). Pada ISA, ideologi ditanam melalui persuasi dengan menggunakan kekuatan diskursus. Sedangkan RSA bekerja melalui serangan fisik dengan represif.  Pada kasus Sampang Bupati dan kepala dusun yang mewakili ISA melakukan bujukan dengan melakukan tekanan mental agar warga syiah meninggalkan keimanannya dan mengikuti keyakinan mayoritas. Sedangkan aparat kepolisian yang mewakili RSA menjadi penyerang cadangan bila suatu saat tindak represif dibutuhkan.

Beginilah kiranya fenomena paksa-memaksakan keyakinan yang mengalir di Sampang: kejam dan membunuh. Dari entitas kejiwaan sampai entitas fisik turut diserang. Demi melakukan injeksi pengetahuan absolut tentang agama untuk menyeragamkan iman, tubuh dan mental mesti ditaklukkan. Bukankah tindakan tersebut sangat eksentrik dan tak manusiawi?

Takzim Pada Perbedaan
Kita tahu bahwa tak ada satu pun manusia biasa yang dengan entengnya menetapkan secara absolut dan universal pengetahuannya sebagai yang benar dan wajib ditelan mentah-mentah, apalagi untuk urusan agama. Itulah mengapa untuk urusan iman, bukanlah perkara mudah untuk diseragamkan dan bukan pula perkara mudah untuk sesat-menyesatkan sesama. Sebab iman terbentuk berangkat dari pengetahuan kita yang jamak tentang agama, tentang sejarahnya.

Yah, Agama telah terlampau jauh menenun sejarahnya. hingga napaktilas-nya terlampau buram dan sayup-sayup untuk kita terka secara absolut apatah lagi untuk menciptakan rangkaian logos yang universal untuknya. Sejarah agama adalah masa lalu akan yang kudus dan ilahi yang sekarang kita genggam secara berbeda-beda. Sebab, mata lahir dan batin serta nalar dan qalbu kita tak begitu suci untuk menerawang agama an sich yang jauh disana. Hingga kita hanya menebak-nebak, mempelajarinya dengan terbatas dan mengikuti lingkaran tradisi. Yah, Tradisi: ikhwal inilah yang tersebar begitu banyak dan beragamnya, kita peluk selama ini secara berbeda-beda dan kita namai apa yang disebut sebagai agama. Maka tak cukup salah kiranya bila kita menerima perbedaan iman. Sebab, dari penjelasan yang bertele-tele ini, perbedaan iman murni berangkat dari keterbatasan kita, ketidak sanggupan kita dalam menerawang yang terang benderang.

Sudah saatnya masalah perbedaan dikubur jauh kedasar yang paling terdalam. Karena meyoal perbedaan, banyak korban yang berjatuhan, banyak pula pihak yang dirugikan. Tak ada yang lebih indah bila saling menghormati satu sama lain dari pada terus bergelut mengurusi iman seseorang yang begitu jamak ragam dan rupanya. Karena begitu jamaknya tak dapatlah kita dengan merasa benar mentasdik keyakinan ini benar dan keyakinan itu salah. Sebab setiap orang memilih atas dasar nalar dan hati mereka masing-masing, menerawang sejarah dan tradisi yang berbeda-beda sesuai modus dan analisis masing-masing. Pun dari sini, Masing-masing memiliki argumentasi dan pilihan hati yang dianggapnya benar. Bukankah sudah cukup rasanya bila Tuhan telah bersabda bahwa: “laa ikraaha fid-diin” (Tiada pakasaan dalam agama)?

---Muhajir---
(Kru Sekolah alam Sanggar kelapa yang alergi dengan pertanyaan “kapanki’ selesai” macca?)







           

Komentar

Populer Sepekan