Rupa-Rupa Tuhan
Tuhan tidaklah tunggal. Pernyataan itu
agaknya terlalu menyesatkan untuk di ucapkan.
Namun disini saya tak bermaksud memprovokasi setiap orang untuk menanggalkan
keyakinannya akan ke-Esa-an Tuhan. Dan sepertinya setiap orang tak perlu
diprovokasi. Kita telah memprovokasi diri sendiri dan menciptakan keyakinan
baru dalam diri bahwa Tuhan tidaklah tunggal. Silahkan mengelak. Hal demikian
adalah wajar apatah lagi untuk orang-orang yang taat agama.
Namun kita mesti mawas diri, bahwa
keberimanan tak pernah utuh. Iman selalu retak tatkala “sang liyan” memaksa
kita untuk menyembahnya. Politik telah menjadi “Tuhan”, uang, kekuasaan telah
menjadi “Tuhan” dan hampir dari segalanya telah menjadi “Tuhan-Tuhan” baru.
Tindakan kita membuat keberTuhanan kita tidak lagi mengarah pada yang sentral.
Namun disetiap sudut, disekeliling kita, disekitar kita telah menjadi
berhala-berhala baru untuk kita. Diri kita sendiri telah membuat Tuhan tak
tunggal lagi. Alih-alih beriman dan taat pada Tuhan namun sebenarnya
keberimanan ini telah tergadai oleh “rupa-rupa Tuhan”.
Dahulu, ada ungkapan “Tuhan telah mati” (Nietzsche)...
Sebab
(mencoba menerka jalan pikiran Nietzsche) narasi besar, universalitas,
kebenaran tunggal sebagai “Tuhan” manusia modern tak lagi menemukan momennya
untuk hadir . menurut Nietczhe, dulu manusia modern membunuh Tuhan, namun
ternyata kebebasannya, otonominya telah melahirkan “Tuhan-Tuhan baru” yang
banyak rupa, “Tuhan-Tuhan modernitas”; narasi besar, universalitas, kebenaran
tunggal. Namun hal ikhwal tersebut telah dibunuh oleh era baru, era nihilisme.
Nietzsche hanya separuh benar.
Rupa-rupanya “Rupa-rupa Tuhan” tak semuanya telah mati. Kekuasaan masih
dianggap “Tuhan”, modal masih dianggap “Tuhan”, manusia pun meski bejat sering
dianggap “Tuhan” dan ada banyak lagi yang masih dianggap “Tuhan”. Tak usah lagi
melabeli orang sebagai ateis, yang kafir sebab kita semua telah pernah
mengalami itu dan tanpa sadar. Dalam ibadah kita me-nomor satu-kan Tuhan,
menyembahnya namun setelah itu kita me-nomor duakan- Tuhan, menyembah yang
lain, memilih satu, dua atau tiga dari “rupa-rupa
Tuhan” untuk dijadikan berhala baru.
Kita sama sesatnya dengan Nietzsche. Tapi
setidaknya ia masih lebih baik dari kita. sebab, ia revolusioner, menolak yang
mapan. walau ia menolak Tuhan sebagai yang mapan, namun ia juga anti terhadap “rupa-rupa
Tuhan” yang berusaha untuk mapan. ia tak menjadikan berbagai “rupa-rupa Tuhan”
sebagai fetis, ketundukannya tak untuk berhala-berhala baru itu. sedangkan kita
berbeda. Keberimanan kita tak pernah total dalam berpihak. Mempercayai
ketunggalan Tuhan namun masih saja tunduk patuh pada “rupa-rupa Tuhan”. Kita
betul-betul paradoks, mempercayai ketunggalan-Nya sekaligus tidak.
Tuhan sudah mati, selalu mati, namun Tuhan tidak tahu kalau
dia sudah mati (Lacan)...
Kekuasaan Tuhan telah diganti kekuasaan
yang baru, yang kian jamak. “Rupa-rupa Tuhan” telah membunuh Tuhan yang
sebenarnya didalam diri kita. Dan Tuhan tidak tahu? Sepertinya Tuhan tak perlu
tahu. Tahu atau tidak tak masalah bagi Tuhan. Yang sebenarnya terancam adalah
kita. Ditundukkan dan dibuat patuh oleh “rupa-rupa Tuhan”. Sungguh ironis, dan
kita mesti refleksi diri bahwa keberimanan kita tak pernah total dalam berpihak.
[]
Muhajir
Komentar
Posting Komentar