Tragedi Sampang 1 ( Luluhnya Bhineka; Sebuah Ekses)
mereka teraniaya lagi.....
penganut
syiah di Sampang yang telah lama mengungsi kembali dianiaya kelompok tertentu. Lagi-lagi
atas nama agama Mengusir mereka dengan cara yang bengis; menyiksa,menindas. Setahun
yang lalu rumah mereka dibakar habis oleh kelompok tertentu. Sekarang mereka
dipaksa meninggalkan sampang dengan tidak manusiawi. dan besok, lusa dan
seterusnya apa lagi yang terjadi? Apakah dengan membantai habis para pengungsi
baru mereka merasa puas?
Aku tak bermaksud membela keyakinan
yang lain, Tapi ini soal kemanusiaan. Bahwa berlaku bengis kepada minoritas
sungguh tak bermartabat. Pernyataan ini bukan asumsi bukan pula ujaran anak
kecil. Tapi ini sabda Tuhan. Maka
paradoks jadinya bila berlaku bengis kepada minoritas dengan mengatasnamakan
agama. Tapi mengapa mereka tetap melakukan?
Narsisme epistemologis...
Sebab menguatnya narsisme epistemologis
pada kelompok penyerang membuat mereka melakukan tindak agresi pada kelompok
yang tak sepaham dan dianggap salah oleh mereka. narsisme epistemologis membuat
mereka telah buta. Dibutakan oleh kredo yang dianggap sebagai kebenaran
tunggal, ilahiah, dan inilah yang boleh dan seharusnya. Maka diluar dari garis mereka
adalah kelompok yang salah, sesat. Dan dengan ini, fundamentalisme berwajah
ekstrim pun bergejolak tatkala ada kelompok yang tumbuh berkembang namun bukan
di garis mereka. diusir, di agresi.
Penganut syiah di sampang adalah korban
perlakuan ekstrim kelompok fundamentalis. Sudah berkali-kali menjadi korban.
Tapi apa yang terjadi? Pemerintah seakan menutup mata pada nasib mereka. tak
ada perlindungan yang signifikan yang telah dilakukan pihak pemerintah pada
mereka yang sebenarnya tergolong warga negara. Yah... mereka adalah warga
negara. Punya hak untuk mendapatkan perlindungan dan rasa aman oleh negara.
Mengapa?
Kerena Negara ini adalah negara bineka...
Semua warga negara apapun ras dan
agamanya memiliki hak untuk hidup aman dan mendapatkan perlindungan dari pihak
pemerintah. Maka negara ini tak boleh memihak pada mayoritas maupun minoritas.
Negara ini juga tak dirancang hanya untuk melindungi yang kuat, yang banyak
duit (namun fenomena ini sering terjadi). Karena negara ini punya prinsip yang
tetap. Ialah bhineka tunggal ika. Sebuah kredo yang menghargai ke-aneka
ragam-an dalam tubuh bangsa. Ia juga sebuah idiom sakral yang membuat republik
ini berjanji untuk: melindungi segenap
bangsa indonesia. Tak penting apa ras dan agamanya, tak penting siapa dia.
Semua warga negara mesti mendapat perlindungan.
Dengan bhineka tunggsal ika, bangsa ini
telah menegaskan “dirinya” sebagai ruang publik. Menurut Hanna Arendt ruang
publik adalah ruang penampakan dan dunia bersama. sedangkan menurut Arendt
ruang penampakan adalah ruang dimana segala sesuatu diperbolehkan untuk dilihat
dan didengar juga berpeluang terpublikasikan seluas-luasnya. Tempat dimana
manusia dikenali dan dihargai sebagai manusia dan dunia bersama adalah dunia yang kita huni
bersama, kita tinggali dan hidupi bersama. disini Arendt secara tak langsung
mengasumsikan bahwa ruang publik adalah ruang pluralitas, dimana
ke-aneka-ragam-an dapat hidup harmonis dan saling menghargai sesama.
Begitulah seharusnya bangsa ini. bila menegaskan
prinsip bhineka tunggal ika maka mesti mewujud sebagai ruang publik. Dimana bangsa
ini mesti menghargai keragaman dan pluralitas. Melindungi segenap warga
negaranya.
Penganut syiah di Sampang adalah warga
negara, bukan sekedar penganut sebuah paham keagamaan. Maka bangsa ini yang seharusnya
mewujud sebagai ruang publik WAJIB melindungi, karena ini sebuah konsekuensi
bhineka yang di usungnya. Namun ironis, perlindungan seakan tak diperuntukkan
oleh mereka. tragedi sampang dibiarkan terjadi begitu saja. Mereka menjerit
kesakitan dan tertindas sedangkan pihak pemerintah acuh tak acuh. Penegasian radikal
tetap dibiarkan pihak pemerintah oleh kelompok tertentu.
Jadinya
Bhineka tunggal ika yang telah lama diusung oleh republik ini lambat laun
mengalami kerusakan fatal. disini pihak pemerintah turut bersalah.
Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok fundamentalis dibiarkan begitu saja.
Bahkan institusi keagamaan justru memberi dukungan penuh kepada mereka. Itu
sama halnya pihak pemerintah dan kelompok fundamentalis bersatu padu untuk
mengusir para pengungsi. Mereka telah memutus simpul keberagaman yang
memersatukan setiap elemen masyarakat yang berbeda-beda. Menghancurkan ruang
publik dalam tunguh bangsa ini.
Bhineka tunggal ika Bangsa ini telah
lama dihianati. Sebelum tragedi di sampang, suatu kelompok penganut paham Ahmadiyah
juga mendapat perlakuan tak manusiawi oleh mayoritas. Mesjid mereka dibakar,
orang-orang dari mereka turut diserang. Ini mengherankan. Bangsa ini
seakan-akan hanya milik kelompok tertentu saja. Padahal bangsa ini telah
memiliki prinsip yang tak memperbolehkan kelompok apapun untuk begitu saja
berkata boleh dan tak boleh pada kelompok yang lain. Prinsip bangsa ini sudah teramat
jelas, Bhineka tunggal ika. Dan bangsa ini pun teramat jelas perwujudannya. Ia adalah
ruang publik. Tak ada yang namanya kelompok dalam bangsa ini. tak ada pula
oposisi biner mayoritas-minoritas. Yang ada hanyalah warga negara yang
sama-sama punya hak untuk hidup.
Kita tak patut mengingkari
ke-aneka-ragam-an dalam tubuh bangsa ini. bhineka adalah fakta. Kita hidup
dengan beragam ras, suku, agama dan sudah amat lama. Maka menegasi kelompok
lain tentulah salah ketika diberlakukan pada bangsa ini. bangsa kita amatlah
indah dan dinamis. Keberagaman hidup berbarengan. Memutus simpul keberagaman
tentulah sebuah pengrusakan. Maka dari ini pemerintah haruslah tegas dan
bertanggung jawab. Pemerintah mesti bertindak bila ada yang mencoba-coba
merusak keanekaragaman bangsa. Pemerintah harus gesit bila ada suatu kelompok
baik ras maupun agama yang menyerang kelompok lain. Bukan malah turut serta
berpesta pora dengan berlaku bengis.
Sekali lagi, pemerintah harus TEGAS dan
BERTANGGUNG JAWAB. TITIK!!!
Muhajir
Di Kampus,
21 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar