Remaja, Mode dan kapitalisme
Dari pandangan umum yang beredar,
remaja selalu dikaitkan dengan masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Ia
adalah fase yang secara biologis terbatasi maknanya pada persoalan usia. Namun
tak hanya itu, remaja juga sering dikaitkan dengan masa di mana yang muda-mudi
selalu ingin “eksis” dihadapan yang lain. Remaja dalam hal ini dapat dikata
sebagai masa di mana identitas diri selalu ingin dipertontonkan agar yang
muda-mudi bisa dibilang telah tampil menarik. Maka tak heran bila fenomena
remaja saat ini selalu ingin “eksis” dalam pergaulan, juga selalu mendandani
dirinya dengan mode, gaya dan aksesoris tertentu agar terlihat menarik.
Di era kontemporer saat ini, antara
remaja dan penampilan seakan tak bisa lagi dipisahkan. Dengan semakin
berkembangnya globalisasi, beragam pilihan-pilihan mode bisa di adopsi oleh
para remaja. Maka tak heran remaja saat ini seringkali gonta-ganti penampilan.
Bila sebuah mode memiliki daya tarik dan lagi trend maka para remaja akan mengkonsumsinya
untuk kemudian dijadikan sebagai penampilan baru.
Tentu saja peran media massa sangatlah
besar dalam penyebaran gaya dan mode agar dapat dinikmati oleh para remaja.
Lewat iklan-iklan produk, atau lewat penampilan selebriti dan para model di pelbagai
majalah dan siaran TV berbagai macam mode dan gaya terbaru akan menyebar
keseluruh hati para remaja. Tentu saja remaja berkenan hati untuk berpenampilan
sesuai apa yang menjadi trending topic
di media massa. Karena dengan ini mereka dapat dikata sebagai seorang
yang fashionable. Apatah lagi bila
artis favoritnya memiliki mode dan gaya terbaru, pastilah “dicaplok abis”.
Inilah fenomena remaja hari ini. Ambil
sana-ambil sini mode yang lagi hangat di media massa. Agar terlihat tampil
dengan gaya yang fashionable. Dengan
ini gaya di mata para remaja hanyalah sebatas kesenangan dan pemuas diri. Hal
ini berbeda dengan semangat bergaya di era 60-70-an. Pada era itu banyak
bermunculan gaya yang lahir dari ide-ide kreatif dari sebuah kelompok dan
memiliki pesan-pesan perlawanan terhadap kemapanan. Kaum Hippies salah satunya. Di mana
kelahirannya diilhami oleh gerakan protes yang dilakukan oleh anak muda yang
mengiginkan perubahan tatanan sosial dan politik. Mereka sangat terkenal dengan
gaya yang sangat bertentangan dengan mainstream.
Kaum Hippies sering memakai baju kaftan
(jubah longgar sepanjang betis) yang awalnya adalah pakaian tradisional turki.
Mereka juga di simbolkan dengan kalung manik-manik, sandal, jaket dan mantel
yang dijahit dan disulam sendiri. Dengan gaya khas mereka, menyimbolkan mereka
sebagai kelompok yang berpenampilan serba murah. Mereka melakukan itu agar tak
terkesan borjuis. Dari sini ada nilai kreativitas kaum muda Hippies dalam
memilih gaya khas kelompok, juga mereka tak ingin terkontaminasi oleh mode yang
berkembang di era itu seperti memakai jas dan dasi khas kelas menengah ke atas.
Di samping itu gaya yang dikenakan oleh kaum Hippies memiliki makna kritik
terehadap kemapanan.
Di samping kemunculan kaum Hippies, di era
itu, muncul pula kelompok gerakan protes yang terkenal dengan nama Punk. Seperti
halnya etos awal kaum Hippies, gaya khas kaum Punk lahir sebagai bentuk protes
dan perlawanan terhadap kemapanan. Pada penampilan mereka, ada makna penentangan konstruk nilai yang normatif
dalam ruang sosial, juga terhadap bentuk-bentuk pendisiplinan dan penyeragaman.
Dengan menggunakan celana sobek-sobek, peniti cantel yang dikenakan di telinga,
pipi, serta asesoris yang lain seperti kalung salib dan kalung anjing menyatakan
nilai resistensi simbolik. Ada makna penentangan terhadap kebudayaan dominan
dalam gaya khas kaum punk. Penciptaan gaya kelompok yang dilakukan oleh kaum
hippies dan punk bisa disebut sebagai praktek kebudayaan. Dalam usahanya
menciptakan kebudayaan sendiri menghasilkan pula apa yang sering disebut
sebagai subkultur, yakni kebudayaan yang dicipta sebagai tandingan kebudayaan
dominan. Ia juga punya nafas perlawanan dalam produksi maknanya.
Pada situasi kontemporer saat ini,
mungkin gaya khas kaum Hippies masih
bisa kita temukan menempel pada diri setiap remaja, sedangkan punk tak usah
dipertanyakan lagi. Saat ini gaya khas Punk sangat diminati oleh para remaja
sebagai sebuah mode. Namun nahas penggunaannya sudah dalam kesadaran yang
berbeda dari awal terbentuknya. Sekarang, berdandan ala punk oleh para remaja tidak
lagi didasari oleh niat perlawanan, namun untuk sekedar tampil keren, hanya
sebatas gaya-gayaan saja.
Begitulah jadinya ketika hasrat
kesenangan, tampil fashionable kian membeludak dalam jiwa para remaja. Peniruan
terhadap mode yang lagi populer kian mentradisi. Mode dalam hal ini memiliki
kekuatan “bujuk-rayu” dalam menggoda para remaja untuk semakin geliat
mengkonsumsinya. Meskipun menghambur-hamburkan uang dalam memilih mode yang
terbaik yang penting tampil fashionable.
tak ada lagi semangat subkultur yang kreatif pada kalangan remaja saat ini seperti
halnya dahulu kala. Yang ada hanyalah peniruan tanpa batas.
Apa yang terjadi di kalangan para
remaja saat ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Namun ada aktor yang
bermain. Ialah kapitalisme. Dengan menciptakan industri kebudayaan, ia secara
besar-besaran memproduksi secara massal berbagai macam mode. Dengan strategi
“bujuk-rayu”, mode yang diproduksi sengaja dipopulerkan melalui media massa
lewat iklan-iklan, selebriti, model. karena semakin populer, semakin diminati
oleh remaja. Kesukaan remaja pada mode tertentu pun ditentukan sejauh mana ia
memiliki nilai simbolik. Saat ini penggunaan blackberry sebagai sebuah mode
oleh remaja dikarenakan ia memiliki nilai simbolik tertentu (gaul, fitur-fitur
yang populer, trend, dipakai oleh para artis dst). Dari sinilah strategi
kapitalisme bekerja. Mode diproduksi terus menerus sebagai komoditas bersamaan
dengan nilai simboliknya. karena dengan ini komoditas yang disebar pada ruang
pasar menjadi laris manis.
Pun
beralihnya subkultur punk dan mungkin juga Hippies menjadi sebuah mode juga
tak serta merta terjadi begitu saja. Namun ia di eksploitasi sistem
kapitalisme. Dalam logika kapitalisme, semua yang memiliki nilai untung dapat
dimanfaatkan mendulang modal meskipun harus merubah hakikatnya. Maka reproduksi
kebudayaan terus saja dilakukan oleh kapitalisme bukan untuk menebar semangat
awal suatu kebudayaan, namun untuk dikomodifikasi dan diproduksi secara massal
untuk menghasilkan untung yang menggiurkan. []
By: Muhajir
Komentar
Posting Komentar