Seputar Manusia; Jelajah Pemikiran Ibnu Khaldun[1]
Introduksi Awal
Manusia
sebagai perkara filosofis memang tak ada habis-habisnya dibahas oleh para
pemikir dari zaman yunani sampai sekarang. Kerumitan organisasi tubuhnya
beserta subtansi non material yang imanen dalam dirinya yang sulit terjamah
oleh nalar menjadi penegas bahwa
mendeskripsikan manusia bukanlah perkara mudah. Maka tidaklah salah ketika
Manusia diposisikan sebagai mahluk misterius. Namun pada posisi itu pula manusia menjadi
menarik untuk dibahas.
Dalam
gugus pemikiran baik di Barat maupun Islam bisa kita temukan beberapa tokoh
maupun aliran pemikiran yang membahas manusia dari berbagai perspektif. Di
Barat usaha teoritisasi manusia bisa kita temukan pada lembar pemikiran
Sokrates, Platon, Aristoteles, Neitchze, Jean Paul Satre dll. Begitupun dalam
tradisi Filsafat islam bisa kita temukan pembahasan manusia dalam arus
pemikiran Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Arabi dll. namun terkhusus dalam tradisi
filsafat islam, sebagian besar tokoh yang menyoal Manusia memiliki lingkup
pembahasan yang hampir sama. Di tangan sebagian besar pemikir islam, manusia dibahas
dalam perspektif transendental dan abstrak yang penuh dengan spekulasi
metafisis. Walaupun seperti itu, masih bisa kita temukan diskursus tentang
manusia yang berbeda dari tradisi filsafat islam secara umum. Ibnu Khaldun
adalah salah satu tokoh yang corak berfikirnya sangatlah berbeda dari pemikir
islam yang lainnya apatah lagi bila membincang manusia. Jikalau sebagian besar
pemikir islam mendasarkan pada spekulasi metafisis menjadi tradisi utama dalam
menggapai hakikat manusia, maka khaldun melihat manusia dari kaca mata
empirisme.[2]
Sebagaimana
pemikir Islam yang lainnya, sangat sulit menentukan tempat Ibnu Khaldun. Itu
dikarenakan keluasan penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuannya
dalam klasifikasi pemikir islam.[3]
Dalam bidang filsafat mungkin ia dapat disebut sebagai seorang filosof.[4]
Meskipun ada usaha coba-coba untuk terjun kepanggung filosofis dan
seni-filsafat, Ibnu Khaldun pada hakikatnya tetap sebagai seorang ahli sejarah
dengan sebuah pandangan empiris.[5]
Karena begitu kompleksnya pengetahuan Ibnu Khaldun maka tidak salah pula ketika
ia disebut sebagai sosiolog, antropolog dan budayawan sekaligus.
Membincang
tentang bagaimana Ibnu Khaldun mengkaji manusia maka sudah jelas bahwa ia akan
menelisik manusia dalam pandangan yang multidisiplin. Hal ini menjadi
konsekuensi dari kompleksnya penguasaan disiplin ilmu Ibnu Khaldun. Hal inilah yang
menjadikan Ibnu Khaldun sebagai pemikir islam yang unik. Dibandingkan dengan
pemikir Islam yang lainnya, Ibnu Khaldun berani keluar dari tradisi pemikiran
islam yang sangat dibayang-bayangi oleh fantasi metafisis. Dalam menyajikan
pemikirannya, ia tak pernah lepas dari data-data empirik sebagai penguat teori
yang dibangunnya.
Dari
berbagai argumentasi diatas maka ada baiknya pemikiran Ibnu Khaldun terkhusus
pada pengkajian persoalan manusia menarik untuk dibahas. Apa yang menjadi daya
tarik dari Ibnu khaldun bahwa ia sebagai seorang jenius dari islam telah membawa
warna baru dari dinamisnya pemikiran Islam.
Siapa Ibnu Khaldun?
Nama
lengkapnya adalah Abrur rahmman Abu Zayd Ibnu Muhammad Ibnu Khaldun. Ia
dilahirkan pada 27 Mei 1332 di Tunisia. Ia berasal dari keluarga Arab-Spanyol
yang terhormat, yakni dari keluarga politisi dan intelektual serta aristokrat
sekaligus. semenjak kecil ia telah banyak mengenyam nuansa intelektual yang
banyak seperti belajar Al-quran, hadis, fiqih dan sastra dan nahwu sharaf
dengan seperangkat guru-guru yang terkenal dan ia kagumi.
Ia
melawat ke Barat pada tahun 1352, terdesak oleh pertengkaran politik pada masa
itu dan wabah pes pada tahun 1348-1349, yang merengguk nyawa orang tuanya dan
sebagian besar guru-gurunya.[6]
Disana ia menetap di Bougieu dan selanjutnya menetap di Fez, dimana disana ia
tinggal di Istana Sultan Abu ‘Inan.
Dari
Fez, di mana dalam suatu kesempatan ia memperoleh kedudukan administratif yang
tinggi dibawah pimpinan Abu Salim, penerus Abu ‘Inan, ia pindah ke Granada yang
dicapainya pada tahun 1362.[7]
Kemudian ia tertarik kembali ke Fez dan Bougie, dimana ia juga menduduki jabatan
yang tinggi di Istana.[8]
Namun banyaknya jabatan yang ia geluti bukan berarti hidupnya tenang. Dari banyaknya
panggilan untuk mengisi jabatan publik disepanjang tahun justru membuat Ibnu
khaldun lebih memilih kehidupan yang sepi untuk studi dan meditasi. Selang
waktu yang singkat selama penyepiannya itu pada tahun 1377 ia telah
menyelesaikan karyanya yang paling penting, al-Muqaddimah,
yang merupakan sebuah pengantar bagi sejarah dunianya, Kitab al-‘Ibar.[9]
Karena
pengabdiannya pada penguasa-penguasa yang dirasanya penuh resiko, ia bertolak
ke Iskandaria pada tahun 1382. Bertolaknya ia di sana justru mendapatkan pujian
hangat oleh Sultan Mamluk, al-Malik al-Dhahir Barquq sebagai ahli Hukum pada
saat ia di Kairo. Akhirnya pada tahun 1384 ia ditetapkan sebagai profesor hukum
maliki dan Hakim agung Maliki Mesir. Dengan selang waktu yang tidak terlalu
lama ia meraih kembali kedudukan Profesor hukum diberbagai lembaga Mamlik dan
kehakiman sampai akhir hidupnya.
Pada
saat Ibnu khaldun menjadi Hakim dan ahli
hukum, ia disuatu saat, bersama dengan Hakim dan ahli hukum yang lainnya dibawa
oleh Sultan ke damaskus, Kota yang waktu itu menjadi serangan gempuran tentara
Timur Lenk. Namun naas, Damaskus tak dapat dipertahankan dan sultan bersama
dengan bala tentaranya kembali ke Mesir. Namun khaldun dan beberapa orang
terkemuka tidak pulang karena mereka diberikan tugas perundingan untuk
penyerahan kota itu pada Timur lenk[10].
Pada saat timur lenk telah menguasai Damaskus, kota itu pun dihancurkan namun
Khaldun berhasil menyelamatkan diri serta menyelamatkan orang-orang terkemuka
lainnya[11].
Di
Mesir, Khaldun menghabiskan hari-harinya dengan pekerjaannya sebagai hakim dan
Ahli hukum. Dan disana pula pada tahun
1406 ia meninggal. Tak dapat dipungkiri bahwa dimasa hidupnya Khaldun sangatlah
disanjungi dan dihormati sebagai cendikiawan dan sarjanawan yang cerdas dan
cekatan. Bahkan karena kecerdasannya itulah ia sering mendapatkan jabatan
khusus di Istana Kota dimana ia menetap. Sebuah prestasi yang luar biasa
sebagai pemikir dimasanya.
Empirisme Ibnu Khaldun dan kritik atas
metafisika.
Yang
menarik dari usaha teoritik Ibnu khaldun bahwa dalam menjelaskan objek
kajiannya selalu memanfaatkan data-data pasti dan objektif. Di sini Ibnu Khaldun
memiliki sisi-sisi empiris sebagai seorang pemikir. Hal ini berbeda dengan
pemikir Islam kebanyakan yang dimana usaha teoritiknya selalu dibangun oleh
dasar spekulasi metafisis. Pendasaran pada empirisme dengan dukungan data-data
objektif yang dilakukan oleh Khaldun pada usaha teoritiknya pun menjadikan ia
melihat manusia dari sudut pandang materialis, yakni bagaimana manusia mesti
dilihat dalam relasinya dengan alam dan sesamanya dan bagaimana pula alam
sebagai lingkungan hidup manusia berperan dalam membentuk kualitas tubuh, watak
dan aktifitasnya. Dari sikap empirik inilah yang mendorong Ibnu Khaldun
menjalankan sebuah kodifikasi sistematis tentang sebuah ilmu peradaban yang
hukum-hukumnya dapat diturunkan kepada hukum-hukum geografis, ekonomis, dan
kebudayaan.
Apa
yang menjadi konsekuensi dari sikap empiris Ibnu Khaldun yakni menjadikan ia
sebagai seorang yang memiliki kecurigaan naluriah terhadap pengembaraan fantasi
metafisika. Kecurigaannya itupun membuatnya sekaligus mencurigai filsafat
sebagai bangunan teoritisasi realitas. maka dari sinilah Ibnu khaldun menjadi
seorang pemikir yang sering kali melakukan penilaian pada filsafat.
Kriteria
Ibnu khaldun dalam menilai filsafat pada dasarnya bersifat keagamaan atau
teologis.[12] Pada posisi ini terlihat
Khaldun memiliki perspektif yang sama dengan Al-Ghazali.[13]
Menurutnya para filosof menuntut bahwa pengetahuan terhadap realitas baik yang
indrawi maupun adiindrawi adalah mungkin hanya melalui perlengkapan teoritis
spekulasi dan deduksi, dan kebenaran melalui butir-butir kepercayaan dapat
dibangun melalui perlengkapan tersebut tanpa bantuan wahyu.[14]
Hal ini sangatlah bertentangan dari apa yang menjadi keyakinan Ibnu Khaldun
bahwa realitas apakah yang bersifat indrawi maupun adiindrawi mestilah memiliki
penjelasan yang objektif dan empiris. Tentang persoalan realitas adiindrwai,
kalau toh tak memiliki penjelasan empiris, mesti dijelaskan melalui agama.
Penggunaan
metafisika oleh para filosof juga lebih keliru, karena objek-objeknya diluar
lingkup pengalaman kita dan sifatnya sama sekali tak dapat diketahui.[15]
Walaupun dipaksakan untuk diketahui, kita hanya mampu menggunakan analogi dan
itu sifatnya dugaan belaka, yakni tak memiliki dasar objektif.
Dari
sikap empiris Ibnu Khaldun, dari sini sebenarnya ia mendahului bukan hanya
empirisme Francis bacon melainkan fase-fase evolusi metode keilmuan yang
terjadi beberapa abad setelahnya, yakni abad pertengahan.[16]
Namun yang unik dari empirisme khaldun ialah empirisme yang tetap bergantung
pada penyimpulan rasionalitas dalam mengenali fakta-fakta. Sebab ia meyakini
bahwa fakta-fakta saling berhubungan satu sama lain termasuk fakta-fakta
terdahulu. Hubungan ini akan menciptakan sebuah gejala yang mana gejala
fakta-fakta hanya bisa ditafsir oleh rasionalitas.
Manusia; Pertautan
Raga Dan Jiwa
Ibnu
khaldun meyakini bahwa manusia senantiasa berkoneksi dengan dua susunan mahluk.
Ia menyebutnya sebagai mahluk bawah dan atas yang dimana entitas yang
menghubungkan manusia pada dua dunia mahluk tersebut ialah jiwa.[17]
Dari bawah jiwa itu berhubungan dengan
tubuh kasar, yang dari padanya ia mendapatkan kekuatan rasa panca inderanya,
yang memungkinkan ia mencapai kesanggupan berfikir.[18]
Dari atas jiwa itu berhubungan dengan dunia malaikat yang dari padanya ia
mendapatkan kekuatan pengetahuan barang-barang yang ilmiah yang tidak bisa
dicapai oleh panca indera.[19]
Berkaitan
dengan dunia bawah, jiwa manusia tak akan mungkin menjalin keterhubungan ketika
tak dimediasi oleh raga. Itulah sebabnya ketika jiwa menghubungkan dirinya
dengan dunia bawah maka akan dimediasi oleh berbagaimacam entitas. Ibnu Khaldun
menyebutnya rasa lahiriah dan batiniah.
Rasa
lahiriah berkaitan dengan panca indera yakni penglihatan, pendengaran,
penciuman dll. melalui panca inderalah jiwa manusia dapat melakukan kontak
terhadap dunia material. Artinya segala pengetahuan tentang fakta-fakta yang
ada dalam diri manusia berawal dari kerja eksplorasi panca indera.
Rasa
batiniah ada beberapa tingkatan. Yang pertama adalah rasa umum (Common sense)
yang berfungsi untuk menyatukan hasil tangkapan rasa lahiriah yang masih
bersifat parsial dan dan membuat kita dapat bisa melihat, mendengar dan meraba
secara sekaligus. artinya berkat rasa umum semua yang parsial dapat berkumpul
dalam rasa ini pada waktu yang sama. Yang kedua ialah khayal yang berfungsi
sebagai tempat pmenyimpan hasil olahan fakta inderawi. Menurut Ibnu Khaldun
antara rasa umum dan khayal dalam aktivitasnya, dimediasi oleh alat badani
yakni rongga pertama otak dimana bagian muka otak itu untuk rasa umum dan
bagian belakang untuk khayal.[20]
Yang ketiga kekuatan mengira-ngrakan (al-wahimah) dan kekuatan mengingat
(al-hafizah). Kekuatan mengira-ngirakan berfungsi untuk menangkap pengertian
yang berhubungan dengan orang sedangkan kekuatan mengingat berfungsi
penyimpanan pengertian-pengertian dan bisa dimunculkan kembali dalam benak bila
dibutuhkan. Dan alat badani kedua kekuatan ini ialah rongga belakang otak.
Bagian muka rongga itu untuk mengira-ngira sedangkan bagian belakangnya untuk
mengingat. semua kekuatan ini membawa pada kekuatan pikiran yang alat badannya
adalah rongga tengah otak. Dalam perantara alat inilah proses angan-angan dan
pemikiran berjalan.[21]
Semua
entitas yang terjelaskan diatas adalah kualitas jiwa yang membawa manusia
berhubungan dengan fakta-fakta dunia bawah dan memprosesnya menjadi sebentuk
pengetahuan. Dan seperti yang terjelaskan diatas bahwa semua kualitas jiwa
tersebut tak dapat beroperasi tanpa bantuan alat-alat badani dan disinilah
fungsinya raga. Namun ada fase dimana jiwa dapat memahami tanpa bantuan
alat-alat badani ketika jiwa telah sanggup menyentuh dunia atas. Khaldun
menyebutnya dunia malaikat. [22]
dan untuk mencapainya jiwa mesti melepas sifat-sifat kemanusiaan dan beralih
menjadi malaikat. Hal tersebut bersifat supernatural dan hanya terwujud dalam
pengalaman mistik.
Setiap
manusia keterhubungan dengan dua dunia memiliki fungsinya masing-masing. Bila
berhubungan dengan dunia bawah maka pada posisi itu manusia berelasi dengan
alam dan beraktivitas didalamnya. Sedangkan bila berhubungan dengan dunia atas
maka pada posisi tersebut manusia terhubung dengan alam gaib dan Tuhan.
Kemampuan itulah yang dimiliki oleh para nabi yang dimana Ibnu Khaldun meyakini
bahwa nabi sudah dapat merubah kediriannya menjadi malaikat. Itulah mengapa
Nabi dapat terhubung dengan malaikat jibril dan mendapatkan wahyu.
Lebih
jauh membincang tentang realitas bawah, yang mana pada momen perhubungan itulah
manusia menemukan dirinya beraktivitas, bermasyarakat dan membentuk peradaban.
sisi lain manusia menemukan dirinya terdeterminasi oleh lingkungan alam sebab
setiap pembentukan watak dan fisik manusia terjadi dikarenakan mereka
terdeterminasi oleh situasi geografis dan lingkingan sosialnya.
Manusia, Realitas Sosial Dan
kebudayaan.
Apa
yang telah kita bahas bahwa manusia senangtiasa berelasi dengan realitas atau
dunia bawah. Dengan bekal kekuatan-kekuatan yang terhimpun dalam jiwa manusia
dapat memanfaatkan alam sekitarnya agar dapat bertahan hidup. namun menurut
Ibnu Khaldun manusia dalam bertahan hidup tak dapat dilakukannya sendiri.
Manusia tak dapat berbuat banyak tanpa bergabung dengan beberapa tenaga lain
dari sesama manusia.[23]
oleh karena itu, organisasi kemasyarakatan menjadi suatu keharusan bagi
manusia.[24] dengan organisasi
kemasyarakatan, manusia memenuhi kebutuhannya, menciptakan alat-alat untuk
menunjang kehidupannya seperti membuat rumah untuk menetap dan beristirahat,
membuat alat produksi untuk menghasilkan makanan, pakaian, minuman dan
kebutuhan hidup lainnya dan dengan ini organisasi kemasyarakatanpun lambat laun
akan menciptakan tatanan Kota, dimana segala aktivitas dari organisasi
kemasyarakatan terjadi didalamnya. Itulah yang disebut sebagai kebudayaan.
Bagi
khaldun kebudayaan merupakan suatu gejala kemanusiaan yang terbentuk sebagai
hasil kecenderungan alamiah manusia untuk bekerja sama.[25]
Lewat penciptaan kebudayaan manusia meningkatkan kondisi kehidupannya sesuai
dengan alamnya.[26] Penciptaan kebudayaan
tersebut dilakukan manusia dilakukannya melalui olah pikir dan gotong royong
dengan bantuan usaha dan kerja. Melalui usaha dan kerja manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan kreasi dan inovasi dengan bekal keahlian tertentu.
Dengan pertukangan manusia menciptakan rumah, alat produksi, perkakas rumah
tangga. Dengan keahlian berkebun dan beternak manusia menghasilkan buah-buahan,
sayur-sayuran, daging dan hasil tani yang lain. Dari situ pulalah manusia
mendapatkan keuntungan berupa modal untuk menunjang kelangsungan hidup.
Ibnu
Khaldun mengungkapkan dinamisnya budaya dan organisasi kemasyarakatan
sebagaimana kondisi yang tergambar diatas menurut pada masa dimana ia hidup.
yang jelas kondisi yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun telah jauh berbeda dengan
kondisi saat ini. namun ada substansi yang dapat dipetik dari pencapaian
teoritik Ibnu Khaldun bahwa manusia meningkatkan kondisi kehidupannya dengan
organisasi kemasyarakatan dan kerja adalah hal-khwal yang umum dan berlaku
disetiap masa.
Manusia Sebagai Zoon Politicon
Menurut
Aristoteles Manusia adalah Zoon politicon
(hewan yang berpolitik). Ibnu Khaldun Meyakininya juga dengan memandang manusia
sebagai “mahluk politik”. Hal tersebut dikarenakan manusia memiliki
kecenderungan untuk berkelompok. Dengan hidup berkelompok manusia dapat
mempertahankan hidupnya. Kecenderungan hidup berkelompok pada mulanya timbul
oleh adanya hubungan pertalian darah. Syahdan, pertalian darah menjadi sesuatu
yang utama dalam hidup berkelompok karena menurut Ibnu Khaldun pertalian darah
memiliki kekuatan pengikat dan kebersamaan yang sangat kuat yang kemudian Ibnu
Khaldun menyebutnya sebagai solidaritas sosial. dengan adanya solidaritas
sosial maka sebuah kelompok akan terlindungi oleh serangan dari
kelompok-kelompok lain. Bahkan solidaritas sosial dapat dipergunakan sebagai
kekuatan untuk menguasai kelompok yang lain. Dari sinilah letak kecenderungan
politik manusia. sedangkan solidaritas sosial dimanfaatkan untuk meningkatkan
kekuatan politik dan merebut kekuasaan.
Dalam
hal kepemimpinan, baik itu kepemimpinan negara maupun suku hanya dapat dicapai
melalui kekuasaan. Maka solidaritas sosial pemimpin harus lebih kuat dari pada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
memimpin rakyatnya dengan sempurna.[27]
Maka bila seorang pemimpin ingin mempertahankan kekuasaannya maka harus pula
mempertahankan solidaritas sosialnya karena dengan solidaritas itu maka seorang
pemimpin tetap dihormati. Sebagaimana yang dilihat Ibnu Khaldun pada kalangan
suku-suku badui, solidaritas sosial terbangun karena adanya pemuka suku. Karena
mereka sangat menghormati pemuka suku maka solidaritas sosial mereka terjalin
untuk melindunginya beserta kelompoknya.[28]
Karena Pemuka suku kalangan Badui mereka memiliki solidaritas sosial, memiliki
pula kekuasaan. Dengan kekuasaannya,
para manusia yang dipimpinnya patuh dan hormat. Artinya solidaritas sosial
menjadi syarat kekuasaan sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Khaldun:
Kesatuan masyarakat dan solidaritas
sosial menjadi semacam sifat alam. Sifat itu tidak akan berguna apabila
unsur-unsur yang ada sama, tak berbeda. Maka diantara unsur itu ada yang berada
di atas dan menguasai unsur yang lain. Hanya dengan itulah penciptaan alam ini
berlangsung. Inilah rahasianya, mengapa solidaritas sosial menjadi syarat bagi
kekuasaan. Dan itu pulalah kepemimpinan dapat ditentukan keberlangsungannya.[29]
Bisa
ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Khaldun memahami politik sebatas pada merebut dan mempertahankan kekuasaan. Politik
dapat memiliki kekuatan jika disokong oleh solidaritas sosial dalam kelompok.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa kemenangan politik bila pihak yang bertarung
memiliki solidaritas lebih kuat, dan angota-anggotanya lebih sanggup berjuang
dan bersedia mati guna kepentingan bersama.[30]
Apa
yang menjadi pijakan pemikirannya berasal dari pengalaman yang dilalui pada
masanya dimana dinasit-dinasti yang berdiri melakukan imprealisasi demi
menguasai daerah yang menjadi objeknya. Keberhasilannya tergantung dari mana
raja-raja beserta prajuritnya memiliki solidaritas yang kuat dan rela mati demi
kepentingan bersama. Imperialisme terjadi dimasanya menjadi penegas bahwa
politik semata-mata untuk kekuasaan dan kepentingan.
Epilog
Ibnu
Khaldun pada dasarnya pemikir yang unik dan langkah dimasanya. Sebab pijakan
pemikirannya didasarkan pada pengalaman, himpunan data, dan penjelasan yang
bersesuaian pada realitas materialnya. Sebuah penjelasan akan realitas yang
belum pernah ditradisikan oleh pendahulunya. Maka Ibnu Khaldun dalam
menjelaskan manusia tak muluk-muluk berputar pada rotasi metafisis. Yang ia
jelaskan bagaimana manusia yang pasti dan realistis itu. dan yang ia elaborasi
bagaimana manusia bertalian dengan alam dan sesamanya. Implikasinya, manusia
dilihat pada dimensi sosiologis dan menyejarah.
Daftar Pustaka
Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986
M. Dawam Rahardjo, Insan kamil:Konsepsi Manusia Menurut
Islam, Jakarta: Puystaka grafitipers,1987
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya,
1986
[1]Makalah ini adalah manuskrip awal
yang pernah menjadi bahan diskusi filsafat manusia yang diselenggarakan oleh
komunitas diskusi Akademos.
[2] Dimensi empirisme Ibnu Khaldun
akan banyak dielaborasi pada pembahasan selanjutnya.
[3] Fachry Ali Realitas Manusia:
Pandangan sosiologis Ibnu Khaldun (dalam M. Dawam Rahardjo, Insan kamil:Konsepsi
Manusia Menurut Islam, Jakarta: Puystaka grafitipers,1987 ,hal.49
[4] Ibid
[5] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, hal.444
[6] Ibid, hal. 442
[7] Ibid, hal. 443
[8] Ibid
[9] ibid
[10] Fachry Ali, Realitas manusia....
dalam M. Dawam Rahardjo, op.cit., hal.153
[11] Ibid
[12] Majd fakri, op, cit., hal. 445
[13] dalam tradisi filsafat islam
Al-Ghazali adalah satu tokoh yang melakukan kritik sistematik pada filsafat
terkhususkan pada filsafat Ibnu Rusyd dalam sebuah karya besarnya berjudul Tahafut al-Falasifah. Pada intinya
Al-Ghazali memandang filsafat mengandung banyak kesesatan apalagi bila
dikaitkan pada persoalan akidah.
[14] Majd fakri, op, cit., hal. 445
[15] Ibid, hal. 446
[16] Fachry Ali, Realitas manusia....
dalam M. Dawam Rahardjo, op.cit., hal.153
[17] Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986, hal. 116
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid, hal. 117
[21] Ibid
[22] Ibid, hal. 118
[23] Ibid, hal. 72
[24] Ibid, hal. 73
[25] Fachry Ali, Realitas manusia....
dalam M. Dawam Rahardjo, op.cit., hal. 159
[26] Ibid
[27] Ibnu Khaldun, op,cit., hal. 156
[28] Ibid, hal. 150
[29] Ibid, hal. 156
[30] Ibid, hal. 187
Komentar
Posting Komentar