Masa Depan dan Revolusi

Hari ini tetap pada situasi yang sama dengan kemarin. Masih tetap pada suasana yang  timpang. Langit tetap diselimuti udara panas akibat polusi dari pabrik dan kendaraan bermotor. Jalan raya tak pernah sepi dari kendaraan namun nahas mengakibatkan macet yang berkepanjangan. Pengemis baik yang muda-mudi sampai yang tua bangka mengais rezki dari dijalan raya dan tempat pembuangan sampah. Di sudut-sudut kota baliho yang tertera wajah manis penuh dusta para politisi masih terpajang. Pun terpilihnya mereka menjadi wakil rakyat tak pernah membawa kabar baik untuk masyarakat. malah keterpurukan tetap lestari dinegeri ini.

Kini ketimpangan ini tak usah lagi dicari dengan susah payah perkembangannya. Sudah kesekian kalinya Media tak pernah sepi dari kabar buruk seputar negeri ini. kita tinggal duduk manis di depan TV, di depan radio atau tinggal membeli koran saja. Dengan mudah kita temukan informasi tentang korupsi, pembunuhan, pencurian, huru hara politik praktis, kebiadaban kapitalis sampai karut marutnya pendidikan. pada intinya di hari ini situasi karut marut makin tumbuh dan berkembang.

Tentu mengagetkan kiranya bila ternyata situasi karut marut ini disebabkan oleh kalangan minoritas. Mungkin tak cukup salah bila dugaannya seperti itu. saat ini, entah sudah seberapa banyaknya, tindakan individu – individu membuat kisruh negeri ini hanya karena mengejar kepentingan. Begitulah bila kepentingan itu punya nilai untung yang menggiurkan. Ia mesti diraih Apapun caranya meski merugikan mayoritas. Tak perlu jauh-jauh kita temukan contohnya. Kasus korupsi oleh para pejabat semakin sering terjadi hingga menjadi “trending topic” saat ini. tentunya para koruptor memiliki kepentingan; mengejar uang. Merugikan? Tentu saja. Karena Bank Century “kemalingan” koruptor akhirnya nasabahnya kerugian jutaan sampai miliaran rupiah.

Ataukah kita ambi contoh yang lebih biadab lagi. Bagaimana pabrik-pabrik milik kapitalis megeksploitasi SDA (sumber daya alam) kita. Mereka untung kita yang “kena batunya”. Secara geologis tentunya merusak dan membahayakan struktur bumi dan masyarakat. mereka prihatin? Tentu tidak. lihatlah bagaimana sikap Abu Rizal Bakri yang acuh tak acuh terhadap kondisi masyarakat setempat pasca lumpur lapindo.

Adakah yang yakin bahwa kondisi hari ini telah membaik di hari esok? Kita hanya mafhum bahwa Esok hari, lusa dan seterusnya tak akan pernah sama dengan hari ini. Namun yang pastinya secara fitrawi semua tak ingin hidup dalam gemuruh situasi yang mengharubiru. Semua dengan niscaya menginginkan hidup di hari-hari kedepan jauh lebih baik dari yang sekarang. Dari sini kita mesti mengakui yang namanya manusia selalu mendambakan hidup dalam situasi yang humanis di masa depan. Era dimana tatanan masyarakat diselimuti kebaikan, keadilan dan kedamaian.

Namun yang menjadi problematik ialah proyeksi masa depan ideal tersebut selalu saja statis pada ruang imajinasi. Sedangkan hari-hari yang berlalu tetap  konsisten pada keterpurukan, keterbelakangan dan ketimpangan. Bisa jadi tindakan kolektif belum mendapatkan tempat untuk hadir dan membawa masyarakat menyongsong kehidupan yang humanis di masa depan. Entah kapan kolektivitas itu menemukan masanya. Ataukah memang masyarakat hari ini telah memandang situasi timpang ini dalam “optik” yang fatalistik? Hingga membuat masyarakat pesimis dan tak punya daya dalam membangun kehidupan humanis di  masa depan?

Marx mungkin berbeda dari yang kebanyakan. ia salah satu sosok dimana optimisme akan masa depan yang humanis terpatri dalam benaknya. Bisa jadi kondisi yang menyadarkannya. Pada konteks  dimana ia hidup  Ada pergulatan yang tak selesai antara dua kelas yang saling bertentangan;  borjuis dan proletariat. Dari pergulatan antagonis itu, hadirlah praktik penindasan dan ketidak adilan. Dan proletariat adalah kelas yang menjadi objek penindasan yang dilakukan oleh kalangan borjuis. Ia adalah kelas yang tak pernah merdeka, dimanfaatkan dan dihisap tenaganya oleh borjuis di dalam sistem produksi yang menindas.

Di dalam keresahan Marx, ia tetap punya harapan. Bahwa suatu saat tatanan sosial ini akan menjadi damai. Suatu saat dalam tatanan masyarakat tak ada lagi perang antagonis antara dua kelas. semua membaur dalam ikatan egaliter. Marx menyebut cita-cita idealnya itu dengan nama sosialisme. bagi Marx, kehadiran masyarakat sosialis adalah keniscayaan. Sebab ia percaya bahwa Laju sejarah sudah dapat diterka kemana ia akan berlabu. Akibat kondisi yang kian menindas, kesadaran proletariat ikut terkonsolidasi karena determinasi kondisi. Kemudian proletariat memberontak dan melancarkan revolusi agar kemudian terbuka jalan dalam menjemput masa depan; masyarakat sosialis. 

Hadirnya masyarakat sosialis dimasa depan mesti diwujudkan oleh tindakan nyata; revolusi. Begitulah kiranya bila kita mencoba menerka jalan pikiran Marx. Dari sini ada sesuatu yang menjadi penting untuk dikaji. Bahwa Masa depan akan kehidupan yang humanis. mesti dikejar dengan jalan revolusi bila toh situasi saat ini telah kehilangan unsur manusiawinya.

Lantas, mengapa revolusi? Sederhananya, revolusi ibarat sebuah ikhtiar oleh para pembaharu untuk memecah kondisi timpang yang telah lama mengeras seperti karang. Yang mana, masyarakat hidup dalam situasi yang tak manusiawi.  Tujuannya agar di masa depan masyakat bisa menikmati hidup yang harmonis dan berkeadilan. Dalam revolusi, situasi mapan yang pincang dan menyengsarakan mesti diganti dengan kondisi yang humanis dimana harkat kemanusiaan di istimewakan. Maka revolusi adalah jalan dimana sistem penyebab karut marut mesti diberantas agar proyek masa depan yang humanis dapat segera direalisasikan. Itulah mengapa Soekarno menafsirkan revolusi sebagai pengejawantahan budi-nurani kemanusiaan. Sebab, hasrat revolusi adalah hasrat yang merindukan kehidupan yang manusiawi. maka mesti direalisasikan lewat tindakan; diperjuangkan.

Dalam alam pikiran di beberapa pihak, ide revolusi tidaklah buruk. Gema revolusi telah membahana disetiap zaman. Jauh sebelum Marx lahir, api revolusi telah beberapa kali membakar dunia. revolusi perancis salah satunya. Sekitar tahun 1789 terjadi revolusi besar-besaran di Perancis. Masyararat dari berbagai elemen mulai dari kelompok politik radikal sayap kiri sampai petani melawan pemerintah. Sebab pemerintah perancis dimasa itu hanya menghadirkan penderitaan bagi rakyat.

Dimasa itu ketidakadilan politik terjadi. Segala sesuatu harus ditentukan oleh para bangsawan, masyarakat kecil tak diperkenankan ikut campur dalam urusan pemerintahan, pegawai pemerintahan mesti berdasarkan keturunan meski keturunannya tak memiliki bakat apapun. Ketidak adilan ekonomi juga terjadi. Perancis waktu itu dililit oleh utang yang tak tanggung-tanggung, sementara pajak mesti dibebankan oleh masyarakat kecil sedangkan bangsawan dan golongan atas yang lain dibebaskan dari pajak.

Akibat dari sistem kepemerintahan monarki absolut, raja memiliki kekuasaan yang mutkal tak terbatas. Akibat dari itu feodalisme menjamur di perancis dan semakin menambah kesengsaraan rakyat. Atas kesengsaraan ini, rakyatpun melancarkan perlawanan. rakyat Berusaha meruntuhkan feodalisme, aristokrasi, dan monarki absolut yang menjadi akar penyebab ketidak adilan. Rakyat memberontak, menuntut kebebasan, persamaan dan persaudaraan.

Setidaknya ada pesan emansipasi dari revolusi perancis untuk kita. Bahwa revolusi untuk kemanusiaan. Revolusi lahir karena adanya hasrat untuk melabrak sistem lama yang melahirkan dehumanisasi, untuk kemudian merajut kembali tatanan manusiawi yang telah dirobek-robek oleh yang minoritas. Revolusi adalah awal dimana masa depan yang berperi kemanusiaan  di tenun sampai mencipta sesuatu yang indah dan membahagiakan semua.

Lantas, masih adakah hasrat revolusi saat ini? pertanyaan ini menyinggung kita semua. Ditengah hiruk pikuk situasi timpang di negeri ini justru revolusi disimpan dalam “gudang”; ditanggalkan. Seakan-akan bukanlah hal yang penting lagi. Bisa jadi sistem tiranik saat ini memiliki kekuatan tak terjamah dalam mencabik-cabik daya sadar kita. Di masa lampau totalitarianisme masih nampak dipermukaan untuk menghabisi pengancam sistem. maka tak heran kesadaran masyarakat dengan mudah terkonsolidasi. Namun saat ini adalah era yang berbeda. Masyarakat kian dibuat tak prihatin dengan kondisi. “sang lain besar” begitu lihai dalam menghadirkan berbagai macam kenikmatan hidup yang kian hari kian mengisolasi hasrat berontak. Benarlah apa yang dikatakan Zizek. Bahwa, manusia saat ini ibarat “subjek sinis”. Subjek yang tahu kondisi yang sebenarnya namun hatinya tak tergugah untuk bertindak benar. kini revolusi kalah menariknya dengan uang, jabatan, fesyen dan saudara-saudaranya yang lain. Dan kini revolusi bisa kita temukan aurahnya hanya pada orasi “kosong” mahasiswa atau pada status facebooker yang tercecer didalam akunnya.[]

Muhajir

Komentar

Populer Sepekan