Kampus dan praktik budaya bisu
Bisu salah satu penyakit fisik. Efeknya
Membuat kita menjadi diam. Menahan kita untuk berargumentasi. Mengkerangkeng
mulut kita untuk berucap. Kurang lebih
seperti itulah gambarannya. Namun di sini
kita tak membicarakan bisu dalam pengertian tersebut. Yang kita perbincangkan
ialah bisu dalam pengertian penyakit sosial. yakni kebisuan yang mana Manusia
yang terinjeksi akan bersikap diam terhadap masalah sosial. Acuh tak acuh pada
tatanan sosial yang timpang. Tak mau bertanya dan protes terhadap penindasan
yang ada. Sikap seperti itu sangat berbahaya, karena hanya melanggengkan status quo, dan penindas semakin bebas
bertindak demi kepentingannya. Penyakit sosial yang satu ini sudah menyebar
kemana-mana bagaikan virus yang membunuh sikap kritis masyarakat. Bahkan penyakit
tersebut sudah membudaya dalam masyarakat, paulo Freire menyebutnya sebagai
kebudayaan bisu.
budaya bisu adalah sesuatu yang tercipta
oleh tangan manusia, dengan melalui hasil hubungan struktural antara yang
mendominasi dan yang didominasi. Dari hubungan tersebut, yang mendominasi memberi pengaruh terhadap masyarakat yang
didominasi untuk menjadi bisu. kadang instrumen yang dipergunakannya ialah
aparatus negara. Biasanya dalam bentuk yang halus maupun kasar. Dalam bentuknya
yang halus, masyarakat dibuat bisu dengan cara memanipulasi kesadaran
masyarakat lewat persuasi dan tindak hegemoni untuk mematikan potensi kritis
masyarakat. Biasanya melalui sekolah, institusi negara dan media massa. Begitu
halusnya hegemoni yang terjadi hingga masyarakat tak menyadarinya. Masyarakat
akhirnya menjadi pasif dan aktivitasnya hanyalah menyesuaikan diri dengan
keadaan. Sedangkan dalam bentuknya yang kasar masyarakat dibuat diam dengan paksaan.
yang melawan dan melanggar sistem akan ditindak dengan keras. Biasanya
dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer.
Sekarang, mengapa harus membahas
kampus? Sadar atau tidak sadar ternyata kampus juga merupakan salah satu
institusi yang mempraktekkan kebudayaan bisu. Kampus yang sekiranya adalah
sebuah institusi pencerahan, wadah transformasi domain kognitif, afektif dan
psikomotorik ternyata telah keluar dari tapal batas idealismenya. Sekarang
kampus telah menjadi sebentuk ruang yang memproduk mahasiswa-mahasiswa yang
terasing; tak mengenali dirinya yang otentik dan kenyataan diluar dirinya. Kampus
tengah dililit dengan kondisi kultural yang membunuh hasrat kritis dan inovatif
mahasiswa. Akhirnya mahasiswa tengah berada dalam kondisi terdominasi oleh
kampus, dijinakkan dan dibuat bisu.
Kondisi “pembisuan" mahasiswa oleh
kampus bukanlah barang baru. Di tahun 1978 pernah terjadi kemerosotan dalam
tubuh mahasiswa. dengan dengan pemberlakuan NKK/BKK, mahasiswa semakin mendapat
kontrol yang ketat oleh pihak birokrasi. Lembaga kemahasiswaan perlahan-lahan
dibabat habis. Ruang gerak mahasiswa terbatasi. Meskipun era tersebut telah
berlalu, namun evolusi barunya kian menghabisi kondisi kemahasiswaan saat ini. Ada
banyak penyebab mahasiswa berada dalam kondisi kebisuan
Pertama. Mahalnya
SPP membuat mahasiswa selalu berpikir instan; berpikir untuk cepat selesai agar
SPP tidak telalu lama membebani orang tua. Maka dari sini kebanyakan mahasiswa
enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat akademiknya compang-camping. Seperti
aktif dalam organisasi kemahasiswaan, demonstrasi, melakukan kritik sistematis
pada kebijakan yang mengekang dst.
Kedua. Bila ada
yang melawan dan melanggar sistem maka skorsing bahkan drop out adalah konsekuensinya. Ancaman tersebut adalah sebuah
sikap birokrasi kampus memasung mahasiswa. Maka wajar-wajar saja bila
kebanyakan mahasiswa yang akhir-akhir ini mengalami krisis militansi dan
memilih diam ketimbang berkoar karena tak mampu menerima konsekuensi tersebut.
Ketiga. Mahasiswa
tak pernah diberi kesempatan untuk berpetualang mencari ilmu dan mengembangkan
potensi kritisnya lewat kajian-kajian, baca buku dan berorganisasi. Sebab,
hari-harinya disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk serta jadwal
kuliah yang padat. Aktivitas tersebut terus berulang dan berulang setiap
harinya, membuat mahasiswa terbiasa dengan kondisi tersebut. Karena telah
terbiasa dengan kondisi tersebut, membuat mahasiswa hanya menganggap aktivitas sejatinya hanyalah
kuliah dan kerja tugas. Sehingga bila mereka diperhadapkan dengan organisasi,
kajian dan baca buku yang mengembangkan daya kritis, mereka menganggapnya
sebagai sesuatu yang asing dan tidak penting.
Keempat. Di dalam
ruang perkuliahan, tak ada aktivitas pemantik sikap kritis mahasiswa. Dosen
yang sekiranya sebagai subjek yang membantu memberi stimulus bagi mahasiswa
agar menjadi aktif dan kritis dalam bersikap pada realitas namun ternyata tak
demikian. Kebanyakan dosen hanya mengajarkan mata kuliah hanya untuk kebutuhan
kerja. sementara memperkenalkan dengan
kritis kepada mahasiswa kondisi sosial, politik dan budaya serta menghubungkan
ketiga aspek tersebut dengan mata kuliah
jarang dilakukan oleh dosen. Kebanyakan dosen justru menutup ruang
aktualisasi diri mahasiswa dengan mendominasi perkuliahan. Terkadang dosen
kakuh dalam proses pembelajaran. Dosen menjelaskan, mahasiswa bertanya dan
dosen menjawab, Bila ada jawaban lain dari mahasiswa yang berbeda dari jawaban
dosen maka selalu saja salah karena pada dasarnya dosen memegang kuasa
pengetahuan dengan pertimbangan “dosen lebih banyak makan garam ketimbang
mahasiswanya”. Dalam ruang perkuliahan sebenarnya sering dilakukan diskusi
namun kesimpulan final hasil diskusi berada ditangan dosen. Terkadang juga Semua
atuaran perkuliahan baik itu pakaian
maupun jadwal masuk diatur oleh dosen. Bila ada yang protes maka nilai menjadi
korbannya. Mau tak mau mahasiswa harus menerimanya dengan lapang dada.
Kelima. Pengaruh
hedonisme dan budaya pop yang tengah naik daun pada ruang kampus, membuat
kebanyakan mahasiswa terkonstruk oleh pengaruhnya. Akhirnya sekarang mahasiswa
lebih membutuhkan sesuatu yang bersifat modis ketimbang membangkitkan kualitas
intelektualnya. Sekarang mahasiswa lebih gemar ketempat-tempat bernuansa
hedonistik ketimbang ikut serta pada forum diskusi. Sikap tersebut jelas
berpengaruh pada kedirian setiap mahasiswa. Mahasiswa akan terbuai dan larut
didalamnya hingga membuat mereka acuh terhadap hal-hal yang sublim dalam
kehidupan kemahasiswaan dan masyarakat yang sesungguhnya.
Efek dari Kondisi-kondisi di atas jelas
membuat mahasiswa semakin takut, cuek bahkan semakin patuh terhadap kebijakan
kampus walaupun kebijakan tersebut tak berpihak pada mereka. Seperti halnya
saat ini, kampus kian digerogoti oleh praktek komersialisasi; kampus kekinian
tak ubahnya seperti barang komoditi.
Namun beribu bahkan berjuta-juta mahasiswa, hanya segelintir saja yang
prihatin sedangkan yang lainnya memilih untuk bungkam. Begitupun dalam
kehidupan sosial, mahasiswa tidak terlalu berperan lagi dalam mengadvokasi
masalah-masalah sosial yang semakin hari semakin menggerogoti nilai-nilai
kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena kondisi-kondisi tersebut menciptakan
kesadaran ilusif dalam nalar mahasiswa. dan mengakarnya kesadaran ilusif
tersebut, sekaligus menjadi bui bagi kesadaran kritis mahasiswa dan menahannya
agar tidak hadir.
Kampus mengisolasi dan Mahasiswa mengalami
kebisuan. Tak lagi memiliki hasrat protes terhadap realitas kampus dan sosial yang
tunggang langgang. Kultur intelektual
yang sekiranya menjadi sebuah counter
dalam menghadapi dominasi kebijakan kampus yang tak konstruktif lambat laun
tertampik oleh dominasi kultur kampus yang mengekang. Kampus telah didominasi
oleh budaya yang memenjara, yang setiap saat siap mengontrol mahasiswa, membuat
mahasiswa menjadi bisu. Kampus kekinian tak ubahnya seperti tabir.[]
By: Muhajir
izin mengutip argumen argumen diatas yaaa.. saya menyertakan alamat web juga.. trimakasiih ::))
BalasHapusIya... sip dah.... salam pencerahan.... salam literasi...
Hapus