Sekolah Sebagai Medan Aktualisasi Kecerdasan Jamak

Oleh: Muhajir

            Berbicara potensi berarti berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Ia akan teraktual bila syaratnya telah terpenuhi. Bila ada stimulus internal maupun eksternal yang siap mendorong. Manusia, padanya ada setumpuk potensi. Ikhtiar adalah syarat wajib agar potensi manusia terpacu untuk mewujud. Manusia pada ikthiarnya tetap membutuhkan ruang pergulatan.  Dikedalaman jiwanya, potensi lahir menjadi pelengkap hidupnya.  Sepantasnya jiwa itu menemukan ruangnya. Pendidikan adalah salah satu medannya. Disana ada tiga bentuk: pendidikan informal (keluarga), pendidikan non formal (lingkungan masyarakat), dan pendidikan formal (sekolah).    
Dalam keluarga, padanya manusia berharap meraih lebih banyak penanaman karakter, sikap dan kecenderungan religius. Sedang masyarakat ada beragam intervensi siap mendidiknya: adat istiadat, kebudayaan. Kita tahu bahwa pada keluarga dan masyarakat ada proses pendidikan sedang bekerja. Tapi sisi lain, kita juga tahu bahwa dalam proses itu, tak sedikit justru terjebak dalam perilaku yang menyimpang. 
Paparan diatas, bisa lahir kesimpulkan bahwa kedua bentuk pendidikan itu sangat berpengaruh. Ia dapat menghadirkan individu-individu dengan corak yang bermacam-macam; Lahir berprilaku baik dan menyimpang. Individu dengan corak berfikir maju dan primitif. Semua tergantung perihal apa yang ia geluti juga mendominasi. Pastinya kemungkinan perilaku menyimpang adalah potensi yang harus dihindari. Tentunya kita menaruh harapan besar pada sekolah. Hadirnya sekolah semestinya menjadi bentuk pendidikan yang bertugas untuk mengikis perilaku menyimpang.  
Sekolah, seyogianya menjadi medan pengaktualisasian potensi-potensi kemanusiaan. Sekolah Sewajarnya menjadi ruang edukasi.  Ia menjadi area pendidikan yang terbangun secara sistematis dan terencana. Kita berharap sekolah adalah ruang tempat menumbuh kembangkan manusia sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki.  Dengan itu, kita dapat melihat individu yang humanis, moralis, terampil, kreatif, inovatif serta memiliki cara pandang yang maju.
            Sekolah tak sepantasnya hanya dimaknai sebagai bangunan yang terdiri dari kelas-kelas. Tapi, didalamnya bersemayam ideal kemanusiaan yang menjadikannya sebagai bangunan yang “suci”. Namun apa yang terjadi? Kini ia hanya menampakkan wajah yang tengah mengalami disorientasi. Sudah tak lagi menjadi sarana pengembangan potensi yang dimiliki anak didik.  Menjadi sebentuk ruang yang didalamnya ada kejumudan yang akhirnya menjadi penghambat perkembangan potensi.
Sekolah dengan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru tak sedikit bersifat kaku dan penuh dengan paksaan. Transfer pengetahuan tak melahirkan adanya proses dialogis. Tidakkah jalan dialogis memberikan kesempatan murid untuk aktif? Proses pembelajaran, murid dijadikan cerdas sesuai dengan keinginan guru.  Sisi lain cenderung menafikan potensi apa yang lebih pada murid. Lebih disesalkan lagi,  potensi kognitif hanya menjadi perhatian. Bukankah  potensi afektif dan psikomotorik juga perlu untuk diperhatikan. Tidakkah ia juga eksis dalam diri peserta didik.
Barangkali superioritas domain kognitif telah mapan dalam nalar setiap guru, akhirnya praktik pedagogi yang dilakukan oleh guru lebih kepada pengembangan potensi kognitif pada diri setiap murid yaitu pada wilayah kecerdasan logik-matematik saja. Maka tak heran murid yang dianggap cerdas adalah mereka yang memiliki kecerdasan tersebut sedangkan murid yang tak kuat dalam wilayah kognitif terkhususkan pada kemampuan logik-matematik dianggap sebagai murid yang bodoh.      
Paradigma yang memandang bahwa kecerdasan logik-matematik saja yang dianggap sebagai bentuk kecerdasan yang akhirnya menjadi acuan guru untuk memaksakan murid-muridnya untuk mengasah kemampuan mereka dalam berfikir dan menyusun solusi dalam urutan logis. Merujuk pada Feyerabend pemaksaan untuk menganut satu pandangan pengetahuan saja adalah sebuah bentuk kekerasan epistemologis; dalam dunia pendidikan hal tersebut telah terjadi.
            Sebenarnya tak menjadi masalah bila murid didorong untuk menguasai kecerdasan logik-matematik namun bila hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya bentuk kecerdasan maka cara pandang itulah yang mesti dirubah. Sebab banyak murid memiliki potensi yang kecil untuk dapat berfikir logis tapi disisi lain ia memiliki potensi besar untuk dapat menguasai hal-hal yang lain seperti seni, olahraga, musik dll. Dalam pandangan Howard Gardner kecerdasan bukan hanya satu tapi jamak, selengkapnya ia menemukan ada delapan macam kecerdasan diantaranya kecerdasan linguistik yaitu kecerdasan retorika maupun tulisan; dimiliki oleh murid yang gemar membaca dan berbicara, kecerdasan logik-matematik yaitu kecerdasan matematis; dimiliki oleh murid yang pandai dalam ilmu eksakta, kecerdasan spasial yaitu Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk merasakan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, merubah, atau memodifikasi bayangan, dan menghasilkan atau menguraikan informasi grafik; dimiliki oleh murid yang senang mendesain dan memotret, Kecerdasan kinestetik tubuh yaitu kecerdasan dalam menggerakan objek dan keterampilan-keterampilan fisik;dimiliki oleh murid yang senang olahraga, kecerdasan musikal yaitu kecerdasan dalam memahami melodi, ritme dan nada; dimiliki oleh murid yang gemar bernyanyi dan bermusik, kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat; dimiliki oleh murid yang memiliki empati dan suka bergaul, kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan untuk membuat persepsi yang akurat tentang diri sendiri dan menggunakan pengetahuan semacam itu dalam merencanakan dan mengarahkan kehidupan seseorang; dimiliki oleh murid yang berkarakter religius, Kecerdasan Naturalis yaitu Kecerdasan memahami dan menikmati alam dan menggunakanya secara produktif dan mengembangkam pengetahuan akan alam; dimiliki oleh murid pencinta alam yang senang mendaki dan memancing.
Penemuan Howard gardner tersebut menjadi penegas bahwa murid yang cerdas bukan hanya yang dapat berfikir logis, namun juga yang pandai bermusik, berolahraga dan sebagainya dan sebagainya. Tapi sayangnya penghargaan akan potensi dominan setiap murid sering diabaikan. Banyak murid yang sebenarnya punya potensi dalam bidang seni, olahraga, musik, agamawan, desainer dan aktivis sosial namun kerap tak mendapat perhatian yang penuh, sedangkan yang kuat dalam penalaran logis yaitu menguasai ilmu eksakta, terapan dan humaniora seringkali dianak emaskan bahkan terus menerus dilatih agar kelak dapat mengikuti Olimpiade. Tak ada yang bisa menduga siapa yang lebih cerdas, Einstein atau Messi? Karena keduanya cerdas dalam bidangnya masing-masing. Maka dari itu murid tak seharusnya dilabeli dikotomi cerdas-bodoh karena setiap murid sebenarnya cerdas dalam keterampilan dan keahliannya masing- masing. []
           
           

Komentar

Populer Sepekan