Sekedar Bertutur Resah Lewat Aksara

 Oleh: Muhajir

Akan terdengar paradoks bila mengakui manusia sebagai mahluk sadar yang aktif dalam “loncatan” gerak. namun secara bersamaan mengakui pula ia sebagai mahluk pasif yang terdeterminasi oleh situasi. Pengakuan itu memang tak secara langsung terbahasakan dalam tutur, Tapi dalam sikap ia nampak dan kongkret. Pasivitas itu bukan dalam arti tak tunduk oleh gerak alamiah. Bukan pula seperti patung yang tak punya ikhtiar mandiri untuk berpindah-pindah. Namun semacam stagnasi dalam laku manusiawi. Gerak manusia berbeda dengan gerak mahluk yang lain. Secara ideal,  Ia dalam gerak dengan penuh sadar merangkak naik berproses menyempurna. Melabrak tirai yang mengaburkan fitrah manusiawi. Bertindak sadar sebagai subjek aktif dalam mencipta. Bila dunia meluluh lantakkan fondasi kemanusiaan, maka sebagai manusia hendaknya berdiri tegak dan membangunnya kembali.
            Seperti itulah manusia meskipun mungkin belumlah representasi total manusia “an sich”. Namun setidaknya uraian itu pernah terjadi dimasa lampau. Ketika che guevara, Khomeini, Freire, Mahatma Gandi dan para nabi menjadi pelaku dalam melebur dehumanisasi dan mencipta kembali fondasi manusiawi untuk humanisasi. Pencapaian mereka bukanlah akhir segalanya. perang antagonis dehumanisasi vis a vis humanisasi tetap melaju. Namun disinilah manusia menemukan momennya. Ketika dehumanisasi terus mengacaukan dunia maka membangun kembali fondasi manusiawi yang humanis adalah laku yang tak seharusnya mengalami stagnasi.  namun terus melaju tanpa kenal lelah. Karena Seperti itulah manusia.

Optimisme?

apakah penting bersikap optimis dan ambisius untuk idealitas ini dizaman sekarang? Dimana zaman sekarang sepertinya tak memberi ruang untuk manusia menyadari kediriannya. tak sedikitpun manusia diberi kesempatan untuk interupsi dan  bertanya “siapa saya sebenarnya?”. Ketika dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, manusia justru berdamai dengan situasi. Seakan-akan dunia sedang baik-baik saja. Sejenak berfikir reflektif dan kritis, ternyata “sang penakluk” terhampar dimana-mana. Ia ada disekolah berbentuk teks dan tuturan fonetik (bersuara dan berbunyi) yang hegemonik yang terus menerus melakukan apa yang diungkapkan oleh Althusser sebagai “interpelasi”. Memanggil manusia sebagai seorang nasionalis, patuh pada pemerintah, seorang yang pragmatis hingga ia merasa bahwa identitas itu memang dirinya dan bukan subjek revolusioner dan kritis. Padahal identitas itu hanyalah “subjektifikasi” belaka.
“Sang penakluk” ada dimana-mana. Ia juga bersemayam dibalik komoditas yang diproduksi seakan tiada batas. Dengan bentuknya yang berupa simbol-simbol yang menjerat libido, terus-menerus memacu hasrat manusia untuk mengkonsumsi. Manusia terus dimanjakan dengan sensasi-sensasi yang fana pada merk produk yang penuh nilai simbolik namun dianggapnya kongrit. Hasrat akan kenyamanan dan sensasi gaya hidup yang dibuat-buat oleh kapitalis pada produknya telah menekan rapat-rapat kesadaran kritis manusia untuk memberontak.
“sang penakluk” tetap ada dimana-mana. Bukan hanya disekolah ataupun dibalik komoditas. Ia bisa jadi ada di gegak gempita politik, di layar televisi, dikampus dan ditempat-tempat lain bahkan mungkin pada “agama”. Namun yang jelas “sang penakluk” setiap saat terus-menerus memanipulasi kesadaran manusia untuk tidak menatap fenomena dunia yang carut-marut. Sungguh Betapa perkasanya zaman ini. memasung manusia sebagai mahluk humanis-emansipatoris untuk “tak hadir” lagi.

lepas dari kerangkeng?

Zaman sekarang adalah zaman yang memasung. Freire menyebutnya sebagai situasi penindasan. Situasi yang melemahkan hasrat revolusioner manusia. membuat ia terbebani oleh “kesadaran naif” hasil konstruksi sistem. Hingga bertindak dalam hidup hanya sekedar menyesuaikan diri pada keadaan. bila merujuk pada Lacan, manusia tengah berada pada fase simbolik. Dimana tatanan simbolik yang terhampar pada realitas terus melakukan konstruksi pada kesadaran manusia. Membentuk manusia berdasarkan keinginan sistem. Di fase ini, manusia sebagai subjek sadar dengan totalitas ikhtiarnya sepertinya tak berlaku lagi. Bila seperti itu adanya, apakah optimisme akan “dunia baru” segera dilupakan? Dan menjadi seorang nihilis ala Neictzhe atau pesimis ala Schopenhauer? Kurasa tidak! Bahwa betapapun banyaknya manusia yang ‘tengah tidur”, bukan berarti tak ada “yang lain” yang mungkin tengah sadar betapa hegemoniknya dunia ini. dan rasionalitas ataupun fitrah manusiawi tak akan pernah mati ditempa zaman. Hanya tinggal untuk dibangunkan saja dari tidur panjangnya. ia mesti diasah agar bangkit dan menjadi kesadaran total akan dunia.[]

Komentar

Populer Sepekan