Sekedar Bertutur Resah Lewat Aksara
Oleh: Muhajir

Seperti itulah manusia meskipun
mungkin belumlah representasi total manusia “an sich”. Namun setidaknya uraian itu pernah terjadi dimasa lampau.
Ketika che guevara, Khomeini, Freire, Mahatma Gandi dan para nabi menjadi
pelaku dalam melebur dehumanisasi dan mencipta kembali fondasi manusiawi untuk
humanisasi. Pencapaian mereka bukanlah akhir segalanya. perang antagonis
dehumanisasi vis a vis humanisasi
tetap melaju. Namun disinilah manusia menemukan momennya. Ketika dehumanisasi
terus mengacaukan dunia maka membangun kembali fondasi manusiawi yang humanis
adalah laku yang tak seharusnya mengalami stagnasi. namun terus melaju tanpa kenal lelah. Karena Seperti
itulah manusia.
“Optimisme?”
apakah penting bersikap optimis dan
ambisius untuk idealitas ini dizaman sekarang? Dimana zaman sekarang sepertinya
tak memberi ruang untuk manusia menyadari kediriannya. tak sedikitpun manusia
diberi kesempatan untuk interupsi dan bertanya “siapa saya sebenarnya?”. Ketika
dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, manusia justru berdamai dengan
situasi. Seakan-akan dunia sedang baik-baik saja. Sejenak berfikir reflektif
dan kritis, ternyata “sang penakluk” terhampar dimana-mana. Ia ada disekolah
berbentuk teks dan tuturan fonetik (bersuara dan berbunyi) yang hegemonik yang
terus menerus melakukan apa yang diungkapkan oleh Althusser sebagai
“interpelasi”. Memanggil manusia sebagai seorang nasionalis, patuh pada
pemerintah, seorang yang pragmatis hingga ia merasa bahwa identitas itu memang
dirinya dan bukan subjek revolusioner dan kritis. Padahal identitas itu
hanyalah “subjektifikasi” belaka.
“Sang penakluk” ada dimana-mana. Ia juga
bersemayam dibalik komoditas yang diproduksi seakan tiada batas. Dengan bentuknya
yang berupa simbol-simbol yang menjerat libido, terus-menerus memacu hasrat
manusia untuk mengkonsumsi. Manusia terus dimanjakan dengan sensasi-sensasi
yang fana pada merk produk yang penuh nilai simbolik namun dianggapnya kongrit.
Hasrat akan kenyamanan dan sensasi gaya hidup yang dibuat-buat oleh kapitalis
pada produknya telah menekan rapat-rapat kesadaran kritis manusia untuk
memberontak.
“sang penakluk” tetap ada dimana-mana.
Bukan hanya disekolah ataupun dibalik komoditas. Ia bisa jadi ada di gegak
gempita politik, di layar televisi, dikampus dan ditempat-tempat lain bahkan
mungkin pada “agama”. Namun yang jelas “sang penakluk” setiap saat
terus-menerus memanipulasi kesadaran manusia untuk tidak menatap fenomena dunia
yang carut-marut. Sungguh Betapa perkasanya zaman ini. memasung manusia sebagai
mahluk humanis-emansipatoris untuk “tak hadir” lagi.
“lepas dari kerangkeng?”
Zaman sekarang adalah zaman yang
memasung. Freire menyebutnya sebagai situasi penindasan. Situasi yang
melemahkan hasrat revolusioner manusia. membuat ia terbebani oleh “kesadaran
naif” hasil konstruksi sistem. Hingga bertindak dalam hidup hanya sekedar
menyesuaikan diri pada keadaan. bila merujuk pada Lacan, manusia tengah berada
pada fase simbolik. Dimana tatanan simbolik yang terhampar pada realitas terus
melakukan konstruksi pada kesadaran manusia. Membentuk manusia berdasarkan
keinginan sistem. Di fase ini, manusia sebagai subjek sadar dengan totalitas
ikhtiarnya sepertinya tak berlaku lagi. Bila seperti itu adanya, apakah
optimisme akan “dunia baru” segera dilupakan? Dan menjadi seorang nihilis ala
Neictzhe atau pesimis ala Schopenhauer? Kurasa tidak! Bahwa betapapun banyaknya
manusia yang ‘tengah tidur”, bukan berarti tak ada “yang lain” yang mungkin
tengah sadar betapa hegemoniknya dunia ini. dan rasionalitas ataupun fitrah
manusiawi tak akan pernah mati ditempa zaman. Hanya tinggal untuk dibangunkan
saja dari tidur panjangnya. ia mesti diasah agar bangkit dan menjadi kesadaran
total akan dunia.[]
Komentar
Posting Komentar