Anak Kecil
Oleh: Muhajir
Anak kecil itu masih saja duduk diam di
bawah pohon mangga. Tubuh yang dekil dan lusuh petanda ia seorang yang miskin.
Hembusan angin sepertinya menghempaskan ia jauh kedalam ruang imajinasi. Tanpa
gerak gerik ia sepertinya berhayal dan mencoba membakar batas imajinasinya. Karena
disitu ia bisa menciptakan sendiri kebutuhan-kebutuhannya walau entitas-entitas
yang terekayasa hanya sekedar fantasi.
Kebutuhan seorang anak kecil memang
bermacam-macam. Ia butuh mainan, kegembiraan, teman, kasih sayang, dan
sebagainya dan sebagainya. Namun puncak dari semua itu adalah kesenangan. Maka
gerak lincah seorang anak kecil yang kadang nyentrik selalu saja mecoba apa
saja yang terasa asing dimatanya. ia mencoba menemukan kesenangan terhadap apa
yang ia lihat dan rasakan.
Liarnya anak kecil petanda rasa ingin
tahunya. khayalannya melanglang buana menembus batas-batas imajnasinya petanda
potensi kreatifitasnya. Maka anak kecil butuh ruang aktualisasi diri. Pilihan
orang tua adalah pendidikan. namun kita
patut juriga, sebab sepertinya Pendidikan saat ini terlalu cepat berganti
wajah. Ia dulunya adalah ruang kemanusiaan tempat dimana anak-anak bangsa
berproses meningkatkan kualitas diri, kini tak lagi humanis. Pendidikan
kekinian bila diberi mandat untuk mengolah anak kecil dalam Merangsang rasa
ingin tahu dan kreativitasnya maka silahkan mengerutkan jidat. Pendidikan sepertinya
telah menjadi momok yang menakutkan bagi sang anak. Ia tak lagi dipandang
sebagai ruang edukasi yang menyenangkan dan disenangi. Bahkan Anak-anak lebih
suka tinggal dirumah bermain game ketimbang menghabiskan waktunya disekolah
yang kadang hanya mendatangkan kebosanan dan ketakutan. Bila mengurai
permasalahannya, Tindak pedagogi guru yang
cenderung konservatif dan jumud adalah biang
keroknya. selalu melihat anak didik
sebagai mahluk yang mesti didikte sementara keaktifannya bukanlah urusannya. Konservatif
dan jumud tak melihat imajinasi sebagai sesuatu yang harus diasah, juga tak
melihat keaktifan sebagai proses yang mesti diberi keleluasaan. Ini tak
manusiawi, maka jangan anggap ia sabagai praktik mendidik, karena mendidik
adalah sebuah proses yang memantik nyala kemanusiaan dikedalaman jiwa bukan
mematikannya.
Haru biru pendidikan bukanlah permasalahan
yang baru, namun pertumbuhannya tetap dibiarkan berjalan tanpa kritik dan
pelawanan yang serius. Maka jangan heran ketika masyarakat kita yang diolah oleh
sistem pendidikan saat ini adalah output yang “setengah jadi”, karena sedari
kecil mereka telah mengenyam pendidikan yang “rusak-rusakan”,tak berkualitas,
mengungkung kebebasan berfikir, aktualisasi diri dan berekspresi namun
irasionalnya biayanya luar biasa mahal. itu menandakan pendidikan saat ini
hanya berfokus pada “politik uang”. Gerakan politik uang dalam sistem
pendidikan saat ini menjadi penegas orientasinya pada profit semata bukan pada
pengembangan diri secara sungguh-sungguh.
Berkaitan tentang pendidikan saat ini yang
memenjara, Freire telah mengantisipasinya dan menyebut pendidikan semacam itu
sebagai model pendidikan gaya Bank. Dalam pendidikan gaya bank anak didik
bagaikan deposito tempat menabung pengetahuan agar kelak dapat menjadi investasi
yang menggiurkan. Pengetahuan itu dipaksakan masuk dalam kesadaran anak didik
yang menandakan mereka mengalami stagnasi dalam kelas. Hal ini berefek serius
pada kreativitas, daya cipta dan kecekatan mereka dalam berfikir mandiri dan
kritis. Lewat pendidikan gaya bank, anak didik menjadi objek. Ingat! Terma
“objek” selalu saja negatif kawan! Objek selalu ditafsirkan sebagai “yang
dikuasai” dan menjadi “bulan-bulanan”. Bila anak didik yang diperlakukan
sebagai objek apakah itu tindakan manusiawi?
Sungguh Pendidikan saat ini selalu saja membuat kita “galau”. Dari pada galau, Mari kembali berbincang tentang anak kecil dibawah pohon mangga itu yang kelihatannya telah lelah bertamasya kedalam ruang imajinasinya. Tapi apa yang ia temukan Dalam perjalanannya akan lenyap dan berlalu. Karena imajinasi tak pernah solid dan stabil; imajinasi dengan mudah melayang tertiup. Namun setidaknya kesadarannya telah mengalami kerja-kerja eksplorasi dalam mengasah daya ciptanya. dan sekarang waktunya untuk bermain, menjelajahi sesuatu yang unik yang terlihat menyenangkan. Persinggungan dengan sesuatu diluar dirinya pasti akan membawanya pada guru yang terbaik manusia; pengalaman. Dan anak kecil itu memang terlihat punya banyak pengalaman. ia dapatkan pada saat memulung dan mengemis. Tapi ia tak punya pengalaman disekolah. Sebab Pengalaman yang terhimpun disekolah harus dibayar dengan uang, sementara ia terlihat tak punya uang. Tak masalah, anak kecil tetap memiliki watak edukasinya sendiri; berimajinasi dan bermain. Mungkin lebih baik ia belajar dari pergumulannya dengan realitas ketimbang disekolah yang hanya menjadikan ia objek “bulan-bulanan”.[]
Sungguh Pendidikan saat ini selalu saja membuat kita “galau”. Dari pada galau, Mari kembali berbincang tentang anak kecil dibawah pohon mangga itu yang kelihatannya telah lelah bertamasya kedalam ruang imajinasinya. Tapi apa yang ia temukan Dalam perjalanannya akan lenyap dan berlalu. Karena imajinasi tak pernah solid dan stabil; imajinasi dengan mudah melayang tertiup. Namun setidaknya kesadarannya telah mengalami kerja-kerja eksplorasi dalam mengasah daya ciptanya. dan sekarang waktunya untuk bermain, menjelajahi sesuatu yang unik yang terlihat menyenangkan. Persinggungan dengan sesuatu diluar dirinya pasti akan membawanya pada guru yang terbaik manusia; pengalaman. Dan anak kecil itu memang terlihat punya banyak pengalaman. ia dapatkan pada saat memulung dan mengemis. Tapi ia tak punya pengalaman disekolah. Sebab Pengalaman yang terhimpun disekolah harus dibayar dengan uang, sementara ia terlihat tak punya uang. Tak masalah, anak kecil tetap memiliki watak edukasinya sendiri; berimajinasi dan bermain. Mungkin lebih baik ia belajar dari pergumulannya dengan realitas ketimbang disekolah yang hanya menjadikan ia objek “bulan-bulanan”.[]
Komentar
Posting Komentar